Minggu, 24 Oktober 2010

Tanah Longsor

apakah anda pernah berpikir bahwa longsor hanya terjadi di daerah daerah pegunungan ? jawabnya adalah tidak, karena longsor tanah bisa terjadi di mana saja, jika di pegunungan orang akan bilang tanah longsor dan jika di daerah datar orang akan bilang tanah ambles, demikianlah sebenarnya.
Aktifitas permukaan akan sangat mempengaruhi struktur permukaan tanah seperti penebangan liar tata konservasi tanah yang salah atau pembangunan yang kurang memperhitungkan resapan air.
dan dari aktivitas ini akan menyebabkan banjir atau tanah longsor karena ketidak mampuan permukan tanah untuk menghambat lajunya air atau run off dan resapan yang kebawah yang akan menjadi air tanah.
Aktifitas di dalam tanah seperti pengambilan air bawah tanah secara berlebihan, atau kegiatan penambangan akan merangsang terbentuknya rongga rongga dalam tanah, dan jika terjadi hujan dan air resapan masuk dalam rongga rongga tersebut bisa mengakibatkan banjir bandang. hal ini desebabkan tanah yang labil dan mendapatkan tekanan dari air resapan yang bermengumpul sehingga menyerupai sungai. jika aliran air tadi membentuk sebuah sungai bawah tanah dan mengikis ke arah permukaan tanah maka akan menyebabkan tanah tipis dan tidak kuat menahan beban diatasnya maka akan mengakibatkan amblesnya permukaan tanah.

Minggu, 20 Juni 2010

Peningkatan Peran Rimbawan dalam Sistem Pengelolaan Hutan Lestari Di Indonesia

Pendahuluan

Hutan tropis di Indonesia menurut berbagai literatur dinyatakan sebagai emas hijau yang merupakan bagian dari rangkaian zamrud khatulistiwa dengan nilai keindahan dan kekayaan yang luar biasa. Sumberdaya hutan ini merupakan hutan hujan tropis terbesar ketiga setelah Zaire dan Brazil. Kekayaan alam yang dimiliki hutan tropis Indonesia sangat berlimpah terutama dalam hal biodiversitasnya. Kelimpahan dan keunikan biodiversitas yang dimiliki ternyata tidak hanya bermanfaat bagi bangsa Indonesia saja melainkan juga bermanfaat bagi seluruh masyarakat di dunia terutama dalam perannya sebagai penyangga ekosistem planet bumi.

Sebagai negara kepulauan, penyebaran aneka macam biografi Indonesia sangat dipengaruhi oleh ekosistem Indomalaya di bagian barat dan ekosistem Austratralia di bagian timur. Demikian pula, beberapa pulau kecil yang terpisah dari daratan yang luas membentuk suatu ekosistem khas dan spesifik serta menyatu dengan penduduk yang bermukim dan menghuni wilayah tersebut. Keadaan ini menjadikan Indonesia sebagai sebuah megaspesies yang sangat potensial, strategis dan multidimensi. Beberapa fakta melimpahnya kekayaan alam Indonesia dapat ditunjukkan oleh tingginya prosentase kekayaan alam yang dimiliki dibandingkan dengan wilayah lain di dunia.

Seiring dengan pesatnya pembangunan di Indonesia dan kekhawatiran dampaknya terhadap kelestarian sumberdaya hutan mendorong lahirnya berbagai kesepakatan tentang pembangunan berkelanjutan dan pelestarian hutan tropis. Kesepakatan-kesepakatan tersebut pada dasarnya mempunyai kesamaan prinsip dasar yaitu sumberdaya hutan merupakan sumberdaya publik sehingga bukan lagi hanya milik komunitas suatu negara saja melainkan seluruh komunitas dunia. Peran dan fungsi hutan yang bersifat multi dimensi dan lintas territorial menjadikan hutan Indonesia menjelma menjadi milik masyarakat dunia yang nantinya harus diwariskan kepada generasi mendatang melalui prinsip pengelolaan hutan lestari. Secara nyata melalui berbagai institusi dan lembaga swadaya masyarakat hutan tropis Indonesia diklaim sebagai paru-paru dunia yang harus dipertahankan.



Disamping keanekaragaman flora dari berbagai jenis tumbuhan tropis, Indonesia juga sangat kaya akan unsur-unsur fauna. Atas dasar perkembangan paradigma pengelolaan hutan maka pengelolaan hutan di masa mendatang bukan semata-mata hanya berupa hasil hutan tumbuhan berupa kayu. Pengelolaan tersebut juga dilakukan untuk memperoleh manfaat hasil hutan non kayu, termasuk didalamnya adalah berbagai jenis fauna yang hidup dan jasa-jasa lingkungan serta pariwisata. Berbagai upaya telah dilakukan Pemerintah Indonesia terutama dalam penetapan jenis-jenis binatang yang dilindungi undang-undang karena sifat keberadaannya mendekati kepunahan atau keunikan dan kekhasan yang dimilikinya.



Berdasarkan uraian singkat di atas, dapat dikatakan bahwa potensi sumberdaya alam hutan Indonesia sangat besar yang antara lain menyangkut tentang potensi hutan konservasi untuk melindungi flora dan fauna khas Indonesia serta keindahan dan keunikan ekosistem lainnya serta potensi hasil hutan berupa kayu dan non kayu seperti rotan, getah tengkawang, dammar, julutung, gaharu dan lainnya. Berbagai potensi ekonomi hutan ini harus diselaraskan dengan kepentingan lingkungan, sosial dan budaya bagi kesejahteraan dan kemakmuran seluruh lapisan masyarakat Indonesia sesuai amanat undang-undang dasar. Oleh karena itu, pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan tidak harus dipertentangkan satu sama lain. Untuk mencapai hal tersebut maka diperlukan para pelaksana yang memegang teguh prinsip keadilan, sehingga kenyataan yang ada dimana kekayaan sumberdaya melimpah tetapi masyarakatnya masih belum menikmati kesejahteraannya.



Tulisan ini merupakan kumpulan dari berbagi sumber yang mengungkapkan kondisi sumberdaya hutan dan peran rimbawan terutama dalam pengelolaan hutan lestari. Dengan adanya tulisan ini diharapkan dapat diperoleh informasi yang menyeluruh dan lengkap tentang pengelolaan hutan secara lestari di Indonesia.



Sekilas Pengelolaan Hutan di Indonesia



Pengelolaan sumberdaya hutan di Indonesia dilakukan oleh para rimbawan yang karena keprofesiannya berhubungan dengan hutan dan kehutanan. Rimbawan diartikan sebagai kelompok profesi yang bekerja bagi dan untuk mengelola sumberdaya hutan. Berbagai profesi yang termasuk kedalam kategori rimbawan meliputi pemikir, akademisi, pengelola, pelaksana serta pelaku industri dan bisnis, bahkan mereka yang bertindak sebagai pengamat hutan dan kehutanan.



Fattah (2002) mengelompokkan periode pengelolaan hutan di Indonesia menjadi dua kelompok besar yaitu sebelum kemerdekaan dan sesudah kemerdekaan berdasarkan penelusuran dengan beragam dinamika dan gejolak sosial yang melanda Indonesia.



Periode pengelolaan hutan sebelum kemerdekaan dimulai pada masa penjajahan Belanda melalui VOC. Keberadaan sumberdaya hutan dieksploitasi dan diperdagangkan ke negara-negara Eropa bagi kepentingan sosial ekonomi VOC. Pada masa itu, VOC membuat aturan-aturan khusus dalam bentuk Bosch Ordonansi Jawa dan Madura tahun 1928 dan Bosch Verordening Jawa Madura tahun 1936. Melalui aturan-aturan ini dibuat model-model pengelolaan hutan dengan memanfaatkan kemampuan tenaga ahli dari Eropa seperti Bavaria dan Jerman. Pengurasan hasil hutan tanpa rencana yang baik semata-mata hanya untuk kepentingan ekonomi penjajah terus berlangsung hingga periode penjajahan Jepang. Pada saat itu, sumberdaya hutan hanya dieksploitasi hasilnya sebagaimana layaknya barang tambang. Akibat dari kegiatan eksploitasi yang berlebihan ini telah melahirkan suatu kerusakan hutan yang sangat parah.



Setelah masa kemerdekaan Indonesia, praktek pengelolaan hutan mengalami perubahan yang sangat mendasar terutama dalam hal sumberdaya manusianya. Pada awal kemerdekaan, modal sumberdaya manusia kehutanan Indonesia berasal dari tenaga-tenaga menengah kehutanan lulusan Sekolah Kehutanan Menengah Atas (SKMA). Untuk mengatasi kekurangan sumberdaya manusia dengan kompetensi kehutanan pada tahun 1945 didirikan Akademi Kehutanan di Yogyakarta. Institusi pendidikan ini tidak berumur panjang karena serbuan Aksi Militer Belanda. Sebagai gantinya, pemerintah Belanda mendirikan sekolah kehutanan di Bogor dengan nama Hoofdencursus. Setelah penyerahan kedaulatan kepada pemerintah RI, sekolah tersebut berubah menjadi Kursus Kehutanan Lanjutan dan menjadi Akademi Kehutanan.



Suhendang (2004) mengelompokkan periode pengelolaan hutan di Indonesia dalam tiga periode yaitu pra-pengelolaan, pengelolaan berlandaskan prinsip kelestarian hasil, dan pengelolaan berlandaskan prinsip pengelolaan hutan lestari. Periode pra-pengelolaan ditandai dengan adanya eksploitasi sumberdaya hutan secara besar-besaran oleh VOC untuk diperdagangkan di Eropa.



Pengelolaan hutan berlandaskan prinsip kelestarian hasil mendasarkan pada pemikiran bahwa hutan dan manfaatnya merupakan hasil dan proses warisan alam yang harus dikelola dan dilestarikan. Pada awal perkembangan masa ini, pengelolaan hutan lebih ditujukan untuk menghasilkan kayu tanpa memperhatikan fungsi-fungsi lain walaupun fungsi-fungsi lain tersebut tetap dirasakan sebagai akibat adanya hutan. Metode pengelolaan hutan yang berkembang selama periode ini lebih didominasi oleh metode pengaturan hasil untuk hasil hutan kayu pada hutan sejenis dan seumur, hingga muncul konsep hutan normal yang dicetuskan oleh G.L. Hartig tahun 1791. Berdasarkan konsep hutan normal ini kemudian muncul berbagai metode dan formula untuk pengaturan hasil yang dapat menjamin kelestarian hasil. Metode Burn merupakan salah satu metode yang dikembangkan di Indonesia terutama dalam pengelolaan hutan jati di Pulau Jawa setelah kemerdekaan. Metode ini dibuat dengan standar khusus untuk jati menggunakan tabel tegakan jati oleh Wolf von Wulfing yang kemudian dimodifikasi oleh Lembaga Penelitian Kehutanan pada tahun 1975 (Suhendang 2004). Manan (1997) menegaskan bahwa pengelolaan hutan berdasarkan prinsip kelestarian hasil ini mengarahkan pada kontinuitas produksi, sehingga dalam waktu yang cukup awal, dapat diperoleh dan dicapai secara tahunan suatu keseimbangan antara pertumbuhan netto (riap) dan penebangan pemanenan.



Tahapan periode pengelolaan hutan yang terakhir menurut Suhendang (2004) adalah pengelolaan berlandaskan prinsip pengelolaan hutan lestari. Konsep pengelolaan hutan lestari ini secara eksplisit mensyaratkan perlunya diperoleh manfaat untuk fungsi-fungsi ekonomi (produksi), ekologis (lingkungan) dan sosial ekosistem hutan secara optimal dan lestari. Untuk menjamin agar pelaksanaan pengelolaan hutan sesuai dengan prinsip tersebut dikembangkan standar dan baku mutu kinerja pengelolaan hutan yang dinyatakan dalam kriteria dan indikator. Penyusunan kriteria dan indikator pengelolaan hutan telah dirintis oleh ITTO pada tahun 1990. Di Indonesia, prinsip pengelolaan hutan lestari menggunakan standar kriteria dan indikator diterapkan pada pengelolaan hutan alam dan tanaman di luar Pulau Jawa maupun pada hutan tanaman di Pulau Jawa. Modifikasi-modifikasi standar kriteria dan indikator ini dikembangkan oleh Departemen Kehutanan, LEI, CIFOR dan lain-lain.



Pengelolaan hutan di Indonesia tidak hanya terfokus pada hutan-hutan di Pulau Jawa, tetapi juga di pulau-pulau besar lainnya, seperti di Pulau Kalimantan. Menurut Kalteng (2006), sejarah pengelolaan hutan di Kalimantan Tengah telah dimulai sejak lebih dari setengah abad lalu ditandai dengan kegiatan eksploitasi kayu agathis secara sederhana menggunakan sistem panglong/tebang banjir di daerah Sampit dan sekitarnya yang dilaksanakan oleh NV. Bruinzeel. Setelah kemerdekaan, kegiatan eksploitasi dan pengolahannya selanjutnya diambil alih oleh PT. SAMPIT DAYAK dan PN Perhutani. Kegiatan eksploitasi yang dilakukan oleh PT. Sampit Dayak dan PN Perhutani ditujukan untuk diolah sendiri dan mensuplai kebutuhan pabrik kertas yang berada di Martapura.



Kegiatan PN Perhutani mengekploitasi hutan di daerah Sampit tersebut terus berlanjut sampai dengan memasuki era Orde Baru, dan pada dekade tahun 1970 karena tuntutan kebutuhan dan ketentuan, PN Perhutani selanjutnya direstrukturisasi menjadi PT. Inhutani III. Selaras dengan meningkatnya kebutuhan akan sumber daya alam untuk pembangunan, maka memasuki tahun 70-an, kegiatan eksploitasi di Kalimantan Tengah tidak lagi sebatas dilaksanakan oleh PT. Inhutani, tetapi juga telah melibatkan perusahaan swasta lainnya untuk berpartisipasi dalam kegiatan pengusahaan hutan di Kalimantan Tengah dengan terbukanya peluang untuk memperoleh konsesi HPH dalam skala luas.



Era baru bagi pelaksanaan pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya hutan secara besar-besaran dan modern, perkembangannya dimulai dengan ditetapkannya Undang-Undang Pokok Kehutanan No. 5 tahun 1967, Undang-Undang No. 1 tahun 1967 mengenai Penanaman Modal Asing dan Undang-Undang No. 6 tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri. Ketiga undang-undang telah menjadi dasar dan landasan bagi pengelolaan hutan di Kalimantan Tengah khususnya dan Indonesia umumnya, yang ditandai dengan adanya pemanfaatan hutan dalam bentuk HPH dan HPHH, serta berkembangnya industri yang mengolah produk hasil hutan (sawmill, plywood, blackboard, particle board, chipmill, pulpmill dan sebagainya).



Berdasarkan data tersebut di atas terlihat bahwa era baru kegiatan pengusahaan hutan di Kalimantan Tengah dimulai dengan hanya 3 unit HPH pada tahun 1969/1970. Setiap tahunnya data kepemilikan HPH selalu bertambah dan mencapai puncaknya pada tahun 1989/1990 dengan jumlah 117 HPH yang mencakup areal seluas 11.862.500 Ha, dan selanjutnya sejak saat itu mulai menyusut hingga pada tahun 2000 hanya berjumlah 53 unit saja dengan cakupan areal 4.790.522 Ha. Menyusutnya kepemilikan HPH tersebut diantaranya kerena pengelolaanya dianggap gagal melakukan pengelolaan hutan yang berazaskan kelestarian, sehingga pengelolaanya dikembalikan ke negara (Kalteng 2006).

Sistem Silvikultur

Pengelolaan hutan berlandaskan prinsip-prinsip kelestarian yang telah disebutkan sebelumnya tidak terlepas dari adanya konsepsi sistem silvikultur. Secara harfiah, sistem silvikultur merupakan serangkaian prosedur yang mencakup cara-cara permudaan, pemeliharaan, dan pemanenan tegakan atau hutan untuk menghasilkan produk tertentu (Manan 1997). Sesuai dengan Keputusan Dirjen Kehutanan No. 35/1972, di Indonesia diterapkan 3 macam sistem sivikultur yaitu Tebang Pilih Indonesia (TPI), Tebang Habis dengan Permudaan Alam (THPA) dan Tebang Habis dengan Permudaan Buatan (THPB). Dalam perkembangannya, pada tahun 1989 TPI diubah oleh Direktur Jenderal Pengusahaan Hutan Departemen Kehutanan menjadi Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI).

Sistem silvikultur TPI/TPTI menghendaki adanya penebangan secara selektif pada suatu tegakan hutan, dalam hal limit diameter maupun jenis pohonnya. Hal ini berbeda dengan sistem tebang habis, baik dengan permudaan alam maupun buatan. Pada sistem tebang habis, batasan limit diameter dan jenis yang ditebang diabaikan karena semua pohon yang ada dalam suatu tegakan hutan diambil tanpa terkecuali. Dari dua kategori besar sistem silvikultur tebang pilih dan tebang habis ini terdapat keuntungan dan kerugian masing-masing seperti disebutkan oleh Manan (1997) sebagai berikut :

Sistem Silvikultur Tebang Pilih

Keuntungan Kerugian
§ Perlindungan terhadap tempat tumbuh dan permudaan§ Terjadi penutupan tajuk vertikal§ Perlindungan terhadap hama dan penyakit§ Perlindungan terhadap bahaya kebakaran§ Secara estetika lebih baik

§ Permudaan alam jenis toleran dipermudah

§ Penyesuaian dengan situasi pasaran kayu

§ Tegakan tidak seumur campuran lebih baik bagi habitat satwa

§ Menjamin kelestarian produksi pada kawasan kecil

§ Penjarangan dapat dilakukan simultan dengan pemanenan

§ Unit cost permudaan per hektar lebih murah
§ Produksi kecil, tetapi areal penebangan luas, sehingga pengangkutan mahal§ Kerusakan akibat pembalakan terhadap tegakan sisa/tinggal§ Memusnahkan sumber plasma nutfah/genatika yang baik§ Bentuk pohon kurang baik, karena ruang tumbuh luas pada umur tua§ Permudaan jenis toleran lebih banyak dibanding jenis intoleran

§ Tertutup terhadap penggembalaan ternak

§ Memerlukan kecakapan profesional tinggi dari pelaksana

§ Kurang menyerap tenaga kerja dalam operasinya

§ Permudaan lebih sulit diatur, misalnya luas celah/gap, demikian juga tindakan pemeliharaan/pembebasan

Sistem Silvikultur Tebang Habis

Keuntungan Kerugian
§ Operasi pembalakan terkonsentrasi di areal kecil, volume kayu besar, alat berat tidak banyak berpindah, sehingga lebih murah biayanya§ Kerusakan akibat pembalakan terhadap tegakan muda dapat dicegah§ Kerusakan pohon akibat tumbang oleh angin dihindari§ Tanaman baru terdiri dari jenis intoleran, bebas persaingan dengan tegakan tua§ Metode sederhana, praktis dan mudah

§ Tegakan seumur, murni dan teratur, tumbuh cepat

§ Pelaksanaan dengan tumpangsari, meningkatkan pendapatan masyarakat sekitar hutan
§ Memusnahkan penutup tanah, iklim mikro berubah, lahan terbuka gulma tumbuh meluas, sifat fisik tanah rusak dan menjadi padat/kompak akibat penyaradan§ Perlindungan terhadap erosi berkurang, tanah mudah longsor terutama pada lahan miring§ Secara estetika kurang baik pemandangannya§ Bahaya kebakaran meningkat, karena angin dan panas terik§ Tidak semua jenis dan ukuran pohon laku dijual, terutama pohon diameter kecil

§ Hutan baru yang seumur dan murna kurang resisten terhadap penyakit, hama dan kebakaran

§ Terbentuk humus yang susunannya didominasi oleh unsur tertentu

§ Penyulaman tanaman gagal memerlukan pasokan benih dan persemaian

§ Unit cost penanaman per hektar lebih mahal


Sistem silvikultur dapat dibedakan atas sistem polycyclic dan monocyclic, yaitu jumlah penebangan (siklus tebang) yang lebih dari satu kali selama satu rotasi dan siklus tebang hanya satu kal dalam satu rotasi. Di Indonesia, sistem silvikultur TPTI/TPI menggunakan 2 kali siklus tebang selama rotasi 70 tahun (polycyclic) sedangkan sistem THPA dan THPB menggunakan sistem monocyclic.

Sistem silvikultur lain yang dikembangkan adalah sistem tebang jalur pada tahun 1993 melalui Keputusan Direktur Jenderal Pengusahaan Hutan No. 40/Kpts/IV-BPHH/1993 sebagai alternatif/modifikasi dari sistem TPTI. Sasaran lokasi dari sistem silvikultur TJTI adalah hutan bekas tebangan TPTI yang kondisinya telah rusak, rawan terhadap perambahan, tidak cocok untuk sistem THPB dan hutan primer.



Pada tahun 2004 di Indonesia mulai diujicobakan Sistem Silvikultur Insentif pada 17 perusahaan pemegang IUPHHK-HA (HPH) di wilayah Sumatera, Kalimantan, Maluku dan Papua melalui Surat Keputusan Dirjen Bina Produksi Kehutanan No. 194/VI-BPHA/2004 tanggal 20 Juli 2004. Uji coba ini dimaksudkan untuk mendorong tercapainya kondisi hutan yang mampu berfungsi secara optimal, produktif, berdaya saing, dan dikelola secara efektif dan efisien sehingga terwujud kelestarian hutan yang dinamis sesuai dengan karakteristik setiap lokasi. Untuk menunjang keberhasilan uji coba silvikultur intensif oleh pemegang izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan alam difasilitasi oleh sebuah tim pakar di bidang sistem silvikultur yang terdiri dari unsur pemerintah maupun perguruan tinggi.

Sistem Pembiayaan Pengelolaan Hutan

Berdasarkan sekelumit sejarah pengelolaan hutan di Indonesia dan penerapan sistem silvikulturnya terlihat bahwa peran subyek pelaksana pengelolaan hutan yang sangat vital. Oleh karenanya perlu perhatian yang besar terhadap kompetensi pengelola tersebut agar tidak terjadi salah dalam pengurusan hutan, tentunya dengan tidak mengabaikan faktor-faktor lain yang juga berperan seperti komponen pembiayaan. Dukungan dari sistem pembiayaan yang tepat, akurat dan efisien tidak mustahil akan dapat menyelamatkan kondisi hutan Indonesia. Sesuai dengan UU No. 41/1999 tentang Kehutanan dinyatakan bahwa dalam pengelolaan hutan secara lestari diperlukan lembaga keuangan sebagi penunjang. Sumber dana yang dipungut dari hutan berupa: Iuran Izin Usaha, Provisi SDH, Dana Reboisasi, Dana Jaminan Kerja dan Dana Investasi. Dana Reboisasi sesuai dengan KEPPRES No. 31/1989 dan Dana Investasi yang disebut dalam UU No. 41/1999 jelas peruntukannya adalah untuk: reboisasi, rehabilitasi dalam rangka menjamin kelestarian hutan. Sistem pendanaan bagi pembangunan kehutanan yang berasal dari Dana Reboisasi saat ini amat lemah, yang terlihat dari hal-hal sebagai berikut (Haeruman 2005):



1. Departemen (Kehutanan dan Keuangan) berfungsi sebagai bank (executing dalam proses kredit dan memungut bunga) dan tidak efisien.



2. Proses administrasi sangat birokratis, berpola DIP dan tidak sesuai dengan kondisi faktual di lapangan, terutama kaitannya dengan musim tanam.



3. Kelanjutan dan konsistensi kebijakan pendanaan berubah-ubah, tidak memberikan kepastian usaha sektor kehutanan yang berjangka panjang.



4. Kemitraan dengan BUMN yang disyaratkan dalam penggunaan DR, berperan serba salah, sebagai Pemegang Saham dan Penilai.



5. Pinjaman DR bunga 0% dianggap subsidi berlebihan dan memicu penyalahgunaan (moral hazard) oleh BUMS pelaksana pembangunan hutan, serta rendahnya akuntabilitas.



6. Bank umum saat ini hanya bisa bertindak sebagai channeling dan mendapat provisi serta handling fee, tanpa resiko sehingga kurang tanggung jawab.



7. Kredit hutan rakyat berpotensi macet, sehingga menyulitkan Bank apabila harus menjadi executing.



8. Sistem pendanaan melalui sistem administrasi keuangan negara (APBN) yang rigid dan berbeda kulturnya, menyebabkan kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan terhenti, kalaupun ada sangat tidak nyata atau bahkan dana DR tersebut dipergunakan tidak untuk membangun hutan, misalnya kegiatan penunjang sehingga DR tidak kembali ke hutan.



9. Rehabilitasi hutan dan lahan melalui Dana Alokasi Khusus-DR dan GERHAN tidak membangun terobosan baru dalam sistem pendanaannya (yang bersifat keproyekan setiap tahun – DIP), sehingga keberhasilannya mulai diragukan.



Meskipun demikian, Dana Reboisasi yang secara teori dikhususkan untuk membangun hutan dan meningkatkan upaya rehabilitasi hutan rusak masih tetap diperlukan sebagai usaha negara menyediakan dana yang khusus diperuntukan bagi pembangunan hutan. Agar dana tersebut dapat menjadi modal dasar untuk membangun kehutanan perlu adanya sistem pembiayaan pembangunan kehutanan yang memahami karakter pembangunan kehutanan yang berjangka panjang, berasetkan tegakan dan kawasan, dan sumber alam yang terbuka dengan keanekaragaman yang tinggi (Haeruman 2005).

Nampak sampai sekarang belum ada sistem pembiayaan yang memadai untuk pembangunan kehutanan yang dapat menjangkau karakter pembangunan kehutanan tersebut. Oleh karena itu pengembangan lembaga keuangan kehutanan alternatif (LKHA) untuk pembangunan kehutanan perlu segera dibentuk. Bentuk lembaga keuangan kehutanan alternatif ini telah berkembang di banyak negara di dunia, bahkan lembaga PBB telah pula membentuk suatu bentuk yang disebut United Nation Forest Fund (UNFF), dalam pembangunan lingkungan juga dikenal adanya Global Environment Facility (GEF). Di lingkungan masyarakat pemerhati lingkungan juga sudah ada bentuk seperti Dana Mitra Lingkungan (Haeruman 2005).



Pemikiran pembentukan Lembaga Keuangan Hutan Alternatif (LKHA) bagi Pembangunan Hutan Lestari didasarkan pada keperluan untuk :



1. Mengelola Dana Reboisasi dengan cara yang lebih sesuai dengan budaya kehutanannya sehingga dapat menggerakan mobilisasi rehabilitasi lahan dan hutan.



2. Mencari, menampung dan mengelola dana murah yang berasal dari masyarakat/lembaga internasional yang berkaitan dengan lingkungan (perubahan iklim global dan keanekaragaman hayati) yang potensinya besar tetapi belum termanfaatkan oleh Indonesia.



3. Mendukung penyelenggaraan Pembangunan Hutan Lestari yang merakyat untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan serta berwawasan lingkungan, melalui mekanisme pembiayaan yang sesuai termasuk pembayaran jasa lingkungan (Payments for Environmental Services-PES).



4. Mendukung pembiayaan investasi yang dilakukan oleh para pelaku bisnis, baik BUMN maupun BUMS, Koperasi dan Masyarakat, dalam rangka pembangunan hutan.



5. Membantu mendanai kegiatan penunjang seperti litbang, diklat dan penyuluhan yang terkait langsung dengan pembangunan hutan, dengan menyisihkan sebagian pendapatannya, utamanya untuk penelitian berjangka panjang.



6. Mengambil alih fungsi executing dalam pendanaan yang selama ini berada ditangan pemerintah (Departeman Kehutanan dan Departemen Keuangan). Sehingga, pelayanan pemerintah kepada dunia usaha/bisnis dapat dilakukan secara bisnis oleh lembaga bisnis (LKHA) yang profesional dan independen.



7. Turut serta menggerakan perekonomian di pedesaan, karena hutan yang akan di bangun terletak di pedesaan.



8. Turut serta meningkatkan produktivitas lahan dan hutan sehingga mampu menghasilkan produksi kayu dan non kayu serta jasa lingkungan hutan yang lestari dan mampu mengembangkan alternatif usaha pada masyarakat, mengembangkan industri baru maupun ekspor (dengan bahan baku dari hutan tanaman).



9. Pembentukan LKHA ini akan menjadi bagian penting dari Program Kehutanan Nasional (PKN/NFP).

Rimbawan dan Perspektif Masa Depan Kehutanan Indonesia

Untuk dapat melakukan pengelolaan hutan dengan tepat diperlukan peran serta rimbawan yang mampu menggerakan potensi kehutanan bagi kegiatan pembangunan. Beberapa masalah yang muncul dalam pengelolaan hutan di Indonesia pada masa sekarang, tidak terlepas dari bagaimana sistem pengelolaan hutan yang telah dilaksanakan sebelumnya. Sebagian besar negara di belahan dunia ini pun tidak luput dari masalah dalam pengelolaan hutan di negaranya.



Berdasarkan hasil kesimpulan kajian studi di enam negara oleh HAF-IPB (2006) terlihat beberapa kelemahan-kelemahan yang dimiliki para rimbawan termasuk juga kerangka pemikirannya terhadap suatu permasalahan sebagai berikut :



1. Diperlukan suatu kondisi dimana rimbawan membuka diri dan bekerjasama dengan kelompok lain, agar dapat mengubah kebijakan dan mampu menggeser keseimbangan kekuasaan sebagai penyebab terjadinya masalah.



2. Rencana dan program-program teknik semata jarang sekali mampu memberikan pencerahan dan pembentukan kebijakan yang efektif.



3. Banyak kebijakan yang menjanjikan dicirikan oleh penglihatannya yang jauh dari sekedar melakukan pengelolaan hutan melainkan dengan sekaligus menentukan bentuk proses pelaksanaan dan institusi yang mendukungnya.



4. Perkembangan positip hanya dapat dilakukan apabila organisasi-organisasi rimbawan bersedia melakukan eksperimen dan belajar dari kegagalan atau keberhasilan yang diperolehnya.



5. Implementasi kebijakan yang didasarkan pada pertemuan-pertemuan reguler antar perwakilan stakeholders dapat menjadi penggerak terjadinya perubahan kearah hal-hal yang positif.



6. Proses negosiasi yang produktif dapat dihasilkan apabila kelompok-kelompok masyarakat setempat mendapat dukungan legalitas, pendanaan, dan informasi sehingga mereka dapat melakukan partisipasi secara penuh.



7. Untuk maju ke depan, setiap rimbawan harus mempunyai visi yang dapat memotivasinya untuk selalu melakukan pembaharuan-pembaharuan yang positip. Individu-individu rimbawan yang dinamis yang mempunyai komitmen untuk melakukan perubahan terbukti sering dapat mengatasi masalah institusi yang dihadapinya.



Peran serta rimbawan dalam perspektif pengelolaan sumberdaya hutan tidak terlepas dari sistem nilai yang dianut serta budaya kerjanya. Menurut Haeruman (2005), budaya kerja yang dimiliki rimbawan diharapkan dapat membentuk etika kerja dalam pembangunan kehutanan yang amat penting. Kaidah dasar budaya yang perlu didukung untuk membentuk etika kerja dalam paradigma pengelalaan hutan lestari adalah:



1. Memberikan perhatian utama pada tatanilai masyarakat (negara, bangsa) yang menjadi subjek dan bukan hanya pada kepentingan para pengelola hutan.



2. Memberikan perhatian penuh dan lebih besar kepada kepentingan hutan lestari dan masyarakat yang terkait dibandingkan dengan kepentingan organisasi.



3. Memberikan perhatian utama kepada kinerja organisasi yang optimal bukan kepada hasil akhir yang maksimal.



4. Memberikan perhatian utama pada proses dan sistem yang menghasilkan dan bukan kepada hasil akhirnya.



5. Mementingkan percobaan dan pengkajian untuk meningkatkan pengetahuan dan teknologi dan membuka diri kepada informasi baru.



6. Menerima kekeliruan yang memberi jalan kepada pembelajaran dan perbaikan organisasi.



7. Mementingkan penyempurnaan yang terus menerus dibandingkan dengan status quo.



8. Perbaikan kinerja berasal dari penyempurnaan proses dan sistem, bukan hanya dari memperbaiki orang.



9. Perbaikan terus menerus diharapkan berlangsung di semua unit kerja di berbagai tingkat pengelolan hutan lestari.



10. Untuk memperbaiki proses dan sistem kerja para manajer harus mampu menemukan akar permasalahannya.

Daftar Pustaka

Fattah DS, A. 2002. Rimbawan Amanah. Revitalisasi Landasan Idiil Pengelolaan Sumberdaya Hutan Secara Lestari dan Berkeadilan. Debut Press. Yogyakarta.



Haeruman Js, H. 2005. Paradigma Pengelolaan untuk Menyelamatkan Hutan Indonesia : Membangun Etika Pengelolaan Hutan Lestari. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.



Himpunan Alumni Fakultas Kehutanan IPB. 2006. Refleksi Kerangka Pikir Rimbawan. Menguak Masalah Institusi dan Politik Pengelolaan Sumberdaya Hutan.



Kalimantan Tengah. 2006. Kondisi Hutan Provinsi Kalimantan Tengah http://www.kalteng.go.id/indo/kehutanan_kondisi.htm (22 Des 2006).



Manan, S. 1997. Hutan, Rimbawan dan Masyarakat. IPB Press. Bogor.



Suhendang, E. 2004. Kemelut dalam Pengurusan Hutan. Sejarah Panjang Kesenjangan antara Konsepsi dan Kenyataan. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.

Selasa, 01 Juni 2010

PERLINDUNGAN HUTAN DAN KONSERVASI ALAM

Tugas pokok dan fungsi Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam adalah merumuskan dan melaksanakan kebijakan dibidang perlindungan hutan, penanggulangan kebakaran hutan, konservasi kawasan dan keanekaragaman hayati, serta wisata alam dan pemanfaatan jasa lingkungan.

Perlindungan hutan meliputi pengamanan hutan, pengamanan tumbuhan dan satwa liar, pengelolaan tenaga dan sarana perlindungan hutan dan penyidikan.

Perlindungan Hutan diselenggarakan dengan tujuan untuk menjaga hutan, kawasan hutan dan lingkungannya, agar fungsi lindung, fungsi konservasi dan fungsi produksi dapat tercapai secara optimal dan lestari. Perlindungan hutan ini merupakan usaha untuk :

Mencegah dan membatasi kerusakan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan yang disebabkan oleh perbuatan manusia, ternak, kebakaran, bencana alam, hama serta penyakit.

Mempertahankan dan menjaga hak-hak negara, masyarakat dan perorangan atas hutan, kawasan hutan, hasil hutan, investasi serta perangkat yang berhubungan dengan pengelolaan hutan.

Penanggulangan kebakaran hutan meliputi pengembangan sistem penanggulangan kebakaran, deteksi dan evaluasi kebakaran, pencegahan dan pemadaman kebakaran, dan dampak kebakaran.

Konservasi kawasan dan keanekaragaman hayati meliputi pengelolaan dan pendayagunaan kawasan konservasi serta pemberdayaan masyarakat sekitar taman nasional, taman wisata, taman hutan raya, kawasan suaka alam, hutan lindung dan taman buru.

Konservasi keanekaragaman hayati meliputi konservasi jenis dan genetik, konservasi ekosistem esensial, pengembangan lembaga konservasi, penangkaran tumbuhan dan satwa liar, tertib peredaran tumbuhan dan satwa liar.

HUTAN KONSERVASI

Hutan Konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya.

Hutan konservasi terdiri dari :

Kawasan hutan Suaka Alam (KSA) berupa Cagar Alam (CA) dan Suaka Margasatwa (SM);

Kawasan hutan Pelestarian Alam (KPA) berupa Taman Nasional (TN), Taman Hutan Raya (TAHURA) dan Taman Wisata Alam (TWA); dan

Taman Buru (TB).

Kawasan hutan Suaka Alam (KSA) adalah hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya, yang juga berfungsi sebagai wilayah sistem penyangga kehidupan.

Kawasan hutan Pelestarian Alam (KPA) adalah hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya

Masing-masing bagian dari KSA dan KPA dijelaskan lebih lanjut sebagai berikut :

CAGAR ALAM (CA) adalah kawasan suaka alam yang mempunyai ciri kekhasan tumbuhan, satwa dan ekosistemnya atau ekosistem tertentu yang perlu dilindungi untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan kebudayaan dan perkembangannya berlangsung secara alami.

SUAKA MARGASATWA (SM) adalah kawasan suaka alam yang mempunyai ciri khas berupa keanekaragaman dn atau keunikan jenis satwa bagi ilmu pengetahuan dan kebudayaan dan kebanggaan nasional yang untuk kelangsungan hidupnya dapat dilakukan pembinaan terhadap habitatnya.

TAMAN NASIONAL (TN) adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk keperluan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, penunjang budidaya tumbuhan dan atau satwa, pariwisata dan rekreasi. Pengelolaan Kawasan Taman Nasional dilakukan oleh Pemerintah.

TAMAN HUTAN RAYA (TAHURA) adalah kawasan pelestarian alam untuk tujuan koleksi tumbuhan dan atau satwa yang alami atau bukan alami, jenis asli atau bukan jenis asli yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, penunjang budidaya tumbuhan dan atau satwa, budaya, pariwisata dan rekreasi. Pengelolaan Kawasan Taman Hutan Raya dilakukan oleh Pemerintah.

TAMAN WISATA ALAM (TWA) adalah kawasan pelestarian alam dengan tujuan utama untuk dimanfaatkan bagi kepentingan pariwisata dan rekreasi alam. Pengelolaan Kawasan Taman Wisaha Alam dilakukan oleh Pemerintah.

TAMAN BURU (TB) adalah kawasan hutan yang di tetapkan sebagai tempat wisata berburu.

Sampai dengan tahun 2002, komposisi hutan konservasi di seluruh Indonesia yang ada di daratan dan laut diuraikan pada Tabel-5 di bawah ini :

Tabel-5. Komposisi Hutan Konservasi di Seluruh Indonesia Sampi Dengan Tahun 2002

Jenis Hutan Konservasi
Konservasi Darat
Konservasi Laut


Unit
Luas
Unit
Luas

Cagar Alam
169
2.683.898
8
211.555

Suaka Margasatwa
52
3.526.343
3
65.220

Taman Wisata
84
282.086
18
765.762

Taman Buru
14
225.993
-
-

Taman Nasional
35
11.291.754
6
3.680.936

Taman Hutan Rakyat
17
334.336
-
-







Total
371
18.344.410
35
4.723.474


EKSPOR SATWA DAN TUMBUHAN

Perdagangan ke luar negeri/ ekspor satwa dan tumbuhan liar dari alam serta hasil penangkaran seperti ikan arwana dan buaya telah menghasilkan penerimaan negara yang cukup besar. Selama tahun 2002 perkiraan penerimaan negara dari ekspor tumbuhan dan satwa liar mencapai 2,12 juta US $, terbesar dihasilkan dari ekspor ikan arwana yang mencapai 1,32 juta US $.

KEBAKARAN HUTAN

Luas kebakaran hutan berdasarkan laporan yang masuk ke Ditjen PHKA dari daerah (Unit Pelaksana Teknis) selama tahun 2002 untuk seluruh kawasan hutan di Indonesia seluas 35.497 Ha. Berdasarkan fungsinya kejadian kebakaran hutan terluas terjadi di areal hutan produksi dan taman nasional, masing-masing seluas 15.397 Ha dan 15.752 Ha. Data tersebut hanya berdasarkan laporan yang terekam oleh UPT Departemen Kehutanan di daerah.

Meredam Pemanasan Global

Aktifitas Mahasiswa dalam usaha meredam pemanasan global tiada hentinya dilakukan, dalam sela sela kesibukan dibangku kuliah, atau saat liburan panjang kegiatan posistif yang dilakukan memberikan sumbangan manfaat yang besar bagi lingkungan. Pengaruh nyata sedikit memang, tapi sebagai upaya peduli terhaap lingkungan mendapatkan apresiasi yang besar, dan langkah langkah yang dilakukan perlu mendapatkan dukungan moril dan finansial yang cukup. Pemberitaan tersebut perlu di sebarluaskan ke seantero nusantara agar lebih menggugah pemuda pemudi untuk menjadi pelopor peduli lingkungan yang nyaman dan asri.
Lembaga Pemuda Peduli lingkungan Global selayaknya perlu di dirikan yang anggotanya adalah komponen pemuda seluruh nusantara, dengan kegiatan khusus untuk perbaikan lingkungan dan pengawasan pembalakan liar atau perusak lingkungan.
Siapa mau peduli dengan lingkungan kita sendiri jika tidak kita sendiri ?

Rabu, 26 Mei 2010

Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan yakin pihaknya dapat melaksanakan program penanaman satu miliar pohon. Dia memperkirakan bahwa program tersebut rampung pada Agustus nanti.

"Yakinlah dengan dukungan masyarakat luas, pemerintah, LSM-LSM, dan swasta," kata Zulkifli di sela acara pemberian penghargaan Wana Lestari kepada PT Pembangunan Jaya Ancol, di Ecopark, Sabtu (22/5/2010).

Dia mengatakan, pada saat ini telah terealisasi penanaman 500 juta pohon. "Pada bulan Agustus program akan rampung. Tahun depan kami merencanakan program penanaman pohon sebanyak 1,6 miliar," katanya.

Zulkifli mengatakan, program penanaman satu miliar pohon membutuhkan dana Rp 3 triliun yang didapatkan dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara.

Menteri kehutanan mengatakan yakin yakin akan bisa tanam pohon 1 milyar batang, apa setelahnya akan oeriksa hasil kerjanya ?
Jika hanya ngumbar janji ya nggak ada gunanya, kualitas kerja boleh di sejajarkan dengan orang biasa yang nggak punya jabatan tinggi.

kenyataan hasil adalah tanam kemudian pelihara dan jaga, begitu mestinya, jangan beralasan sudah tidak menjabat kemudian bisa lempar tanggung jawab ?
Staf Ahli Menteri Lingkungan Hidup bidang Global, Liana Bratasida, mengatakan Indonesia dan Norwegia akan segera menandatangani Letter of Intent terkait bantuan dana sebesar 1 miliar dollar AS atau setara dengan Rp 9 triliun. Dana tersebut diperuntukan guna menangani masalah lingkungan di Indonesia.

"Tanggal 27 Mei nanti penandatanganan letter of intent-nya oleh Menteri Lingkungan Hidup yang akan disaksikan masing-masing kepala negara di Oslo," ujarnya, Senin (24/5/2010), di Jakarta.

Sementara itu, Menteri Lingkungan Hidup Gusti Muhammad Hatta, mengatakan bantuan sebesar itu merupakan bukti kepercayaan dunia luar terhadap komitmen Indonesia dalam mengatasi persoalan lingkungan.

Berdasarkan rencana, dana tersebut digunakan untuk mengurangi kerusakan hutan, melawan pembalakan liar, dan mengelola lahan gambut. Selain itu, dana bantuan itu juga dimanfaatkan untung mendukung program pemerintah dalam mengurangi emisi sebesar 26 persen pada tahun 2010.

Berbagai bantuan telah datang yang jumlahnya denikian besar, tapi dari tahun ketahun, perbaikan lingkungan tidak kunjung terlihat hasilnya,, dan malah tiap tahun, yang terdengar adalah banjir banjir dan banjir lagi. jadi bagaimana tanggng jawap menteri lingkungan hidup itu, apa hanya gagah gagahan saja ?

Sabtu, 22 Mei 2010

Pelestarian Air

Konservasi sumberdaya air adalah upaya memelihara keberadaan serta keberlanjutan keadaan, sifat dan fungsi sumber daya air agar senantiasa tersedia dalam kuantitas dan kualitas yang memadai untuk memenuhi kebutuhan mahluk hidup, baik pada waktu sekarang maupun yang akan datang.
Sumberdaya air merupakan bagian dari kekayaan alam dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk kemakmuran rakyat, secara lestari sebagaimana termaktub dalam pasal 33 ayat 3 UUD 1945. Ketetapan ini ditegaskan kembali dalam pasal 1 Undang Undang Pokok Agraria tahun 1960 bahwa bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah merupakan kekayaan nasional. Sumberdaya air ini memberikan manfaat serbaguna untuk mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat di segala bidang baik sosial, ekonomi, budaya, politik maupun bidang ketahanan nasional.
Konservasi Sumber Daya Air di Sungai, Danau dan Waduk
Untuk konservasi air di daerah seperti sungai, danau, waduk tentunya tak lepas dari pengelolaan yang dilakukan demi diperolehnya tatanan air yang setimbang. Tujuan konservasi itu meliputi:
a. Pencegahan Banjir dan Kekeringan
Banjir terjadi karena sungai dan saluran-saluran drainase lain tidak mampu menampung air hujan yang turun ke bumi. Penuhnya air permukaan pada sungai dan danau serta saluran drainase lain disebabkan karena air hujan itu tidak merembes ke bumi, melainkan mengalir menjadi air permukaan. Penyebab terjadinya banjir antara lain curah hujan yang tinggi, penutupan hutan dan lahan yang tidak memadai, serta perlakuan atas tanah yang salah.
Agar banjir dan kekeringan dapat diantisipasi, maka perlu dibuat peta rawan banjir dan kekeringan pada tiap daerah, menyusun rencana penanggulangan banjir dan kekeringan, dan menyiapkan sarana dan prasarana untuk mengadaptasinya.
Kegiatan yang perlu dilakukan untuk mencegah banjir adalah: (1) mematuhi ketentuan tentang Koefisien Bangunan Dasar (KBD) bangunan sehingga kemampuan peresapan air ke dalam tanah meningkat; (2) menjaga sekurang-kurangnya 70 % kawasan pegunungan tertutup dengan vegetasi tetap; (3) melakukan penanaman, pemeliharaan, dan kegiatan konservasi tanah lainnya pada kawasan lahan yang gundul dan tanah kritis lainnya terutama pada kawasan hulu suatu DAS; (4) menyelenggarakan pembuatan teras pada kawasan budidaya di daerah berlereng; (5) Membangun sumur dan kolam resapan; (6) membangun dam penampung dan pengendali air pada tempat-tempat yang dimungkinkan; (7) pengaturan tata guna lahan yang harus lebih berorientasi kepada lingkungan dan meningkatkan ruang terbuka hijau; (8) alokasi lahan harus lebih berorientasi ke fungsi sosial, lingkungan dan keberpihakan kepada rakyat kecil, sehingga perlu dilakukan pendataan tanah dan land form.
Pada kawasan resapan air tidak diperkenankan mendirikan bangunan di kawasan ini arena akan menghalangi meresapnya air hujan secara besarbesaran. Pembangunan jalan raya juga dihindari agar tidak menyebabkan pemadatan tanah dan terganggunya fungsi akuifer. vegetasi yang ada dijaga dan tidak dilakukan penebangan komersial
b. Pencegahan Erosi dan Sedimentasi
Erosi dan sedimentasi adalah peristiwa terkikisnya lapisan permukaan bumi oleh angin atau air. Faktor penentu sedimentasi ini adalah iklim, topografi, dan sifat tanah serta kondisi vegetasi. Faktor penyebab erosi yang terbesar adalah pengikisan oleh air. Oleh karena itu upaya pencegahan yang dilakukan berkaitan dengan upaya pencegahan banjir. Erosi juga dapat terjadi pada tepi sungai karena tebing sungai tidak bisa memegang tanah yang terkena arus air.
Kegiatan untuk mencegah erosi dan sedimentasi yang dapat dilakukan adalah: (1) tidak melakukan penggarapan tanah pada lereng terjal. Bila kelerengan lebih dari 40% maka tidak diperkenankan sama sekali untuk bercocok tanam tanaman semusim. Sedangkan bercocok tanam pada 10 kawasan yang berlereng antara 15-25 % dilakukan dengan membuat teras terlebih dahulu; (2) Untuk mencegah terjadinya sedimentasi pada sungai, maka pada berbagai lokasi di kawasan berlereng dibuat bangunan jebakan lumpur, berupa parit-parit buntu sejajar kontur dengan berbagai variasi panjang, lebar dan dalamnya parit. Secara periodik parit ini dibersihkan agar dapat berfungsi sebagai penjebak lumpur, terutama pada musim penghujan; (3) mencegah pemanfaatan lahan secara intensif pada lahan yang berada di atas ketinggian lebih dari 1000 m di atas permukaan laut; (4) mencegah pemanfaatan lahan yang memiliki nilai erosi lebih tinggi dari erosi yang diperbolehkan.
c. Pencegahan Kerusakan Bantaran Sungai
Kerusakan bantaran sungai dapat diakibatkan oleh pengikisan aliran air dan aktivitas manusia yaitu dengan pembuangan sampah, material dan pengurukan untuk melindungi tempat tinggal. Pencegahan timbulnya kerusakan bantaran sungai dapat dilakukan : (1) melindungi bantaran sungai secara teknis dengan pembetonan dan secara vegetasi yaitu penanaman pada bantran sungai dengan pohon supaya tahan terhadap proses pengikisan; (2) melarang dan menindak kepada orang atau pihak yang menggunakan bantaran sungai untuk bangunan tempat tinggal; (3) melarang kegiatan pembuangan sampah dan material sehingga menyebabkan kerusakan bantaran sungai.


Konservasi Sumber daya Air Bawah Tanah
Sedikit berbeda, untuk konservasi secara sedrhana yang dapat diterapkan di rumah-rumah penduduk, maka ada konservasi untuk air bawah tanah. Meliputi, sumur resapan air hujan (SRAH) menurut Muhsinatun Siasah Masruri, 1997 dalam buku Sumur Resapan Air Hujan Sebagai Sarana Konservasi Sumberdaya Air Tanah di Kota Madya Yogyakarta adalah lubang galian berupa sumur untuk menampung dan meresapkan air hujan. Sesuai dengan namanya air yang boleh masuk kedalam sumur resapan adalah air hujan yang disalurkan dari atap bangunan atau air hujan yang mengalir diatas permukaan tanah pada waktu hujan. Air dari kamar mandi, WC dan dapur tidak dimasukkan kedalam SRAH karena air tersebut merupakan limbah. Air dari WC harus dimasukkan ke dalam septictank kedap air agar bakterinya tidak mencemari air tanah.
Manfaat sumur resapan air hujan terhadap lingkungan adalah untuk mengurangi angka imbangan air yaitu sebagai pemasok air tanah untuk memenuhi kebutuhan air bersih guna menopang kehidupan, mengatasi intrusi air laut, memperbaiki mutu air tanah, mengatasi kekeringan dimusim kemarau, menanggulangi banjir dimusim hujan, mengendalikan air larian (run off) yang mengakibatkan pengikisan humus tanah. Dengan terkendalinya erosi tanah, secara tidak langsung mengurangi sedimentasi yang menyebabkan pendangkalan sungai.
Sumur resapan dapat diletakkan dimana saja baik di halaman depan, tengah, samping maupun belakang. Bila halaman tidak memungkinkan dapat diletakkan di bawah teras, garasi, ruang tengah. Sumur resapan tidak mengganggu keindahan halaman karena dapat ditimbun di dalam tanah. Sumur resapan tidak memerlukan pipa udara sebagaimana septictank sehingga sulit menemukan lokasi karena tidak kelihatan. Letak SRAH harus berjauhan dengan septictank, lebih kurang sepuluh meter guna menghindari pencemaran bila terjadi kebocoran.
Air hujan yang disalurkan baik dari atap maupun yang mengalir sebagai limpasan di permukaan, sebelum masuk kedalam sumur, air hujan melalui bak kontrol dengan maksud benda-benda yang terbawa air tidak masuk kedalam sumur. Di bawah tutup sumur diberi pipa peluapan untuk mengalirkan air ke selokan bila air terlalu penuh. Tutup sumur dibuat dari plat beton, dinding sumur dengan polongan berdiameter 80-100 cm. Pada sambungan polongan diberi ijuk setebal 5 cm, diluar dinding diurug dengan pasir dan pada dasar sumur diberi batu belah guna menahan timpaan air. Bahan bahan yang diperlukan; polongan diameter 80 cm, batu belah dan pasir, ijuk, pipa paralon 3 inch, plat/besi dan semencor/plat untuk tutup sumur.
Selain air sumur resapan, lubang resapan biopori merupakan cara konservasi air tanah sederhana di daerah pemukiman adalah lubang silendris yang dibuat di dalam tanah dengan diameter 10-30 cm, kedalaman tergantung kondisi tanah asal tidak melebihi kedalaman muka air tanah. Lubang biopori diisi sampah dapur/organik guna mendorong terbentuknya biopori oleh aktifitas fauna tanah (cacing) sehingga dapat meningkatkan lajunya peresapan air hujan. Lubang biopori prinsipnya sama dengan sumur resapan, lebih simpel dan mudah diterapkan tidak memerlukan biaya.

Tebar Benih Ikan di Sungai

Kelompok hobiis pemancing melakukan kegiatan tebar benih ikan di sungai, beberapa jenis yang dilepas adalah ikan gabus/kutuk, lele, mujair, sepat dan bethik, Jenis ini adalah populer sebagai ikan air tawar yang keberadaanya di beberapa tempat sudah semakin berkurang terutama di sungai ataupun danau danau.
Dalam 2 sampai tiga bulan mendatang diharapkan bisa tumbuh menjadi tempat yang kaya dengan ikan ikan air tawar dan diharapkan bisa beranak pinak. dan diharapkan juga masyarakat sekitar untuk bisa menjaga agar jangan sampai ada tangan jahil yang meracun kawasan tersebut untuk memperoleh ikan, dan sudah barang tentu dijaga pula dari polusi air dari limbah industri.
Jika kegiatan ini bisa lestari maka penduduk sekitar lokasi akan bisa menikmati ketersediaan ikan yang terus menerus, asal dalam memperolehnya dengan cara memancing, dan ini akan menjadikan tempat wisata alam yang murah dan gratis.
Coba perhatikan disekitar lingkungan anda apakah banyak tersedia kubangan air yang terus menerus tidak mengenal kekeringan ? Jika tersedia coba lakukan dengan penebaran benih ikan yang biasa hidup di lingkunan anda, dan dalam waktu tiga bulan kedepan anda sudah bisa menikmati ikan sembari rekreasi alam yang murah dengan memancing.

Jumat, 21 Mei 2010

Perilaku Masyarakat Terpuji Terhadap Alam

Gerakan masyarakat pecinta alam dengan melakukan kegiatan pendakian, dan sekali gus penanaman pohon adalah suatu gerakan yang patut mendapatkan pujian sepantasnya, jumlah anggota pendakian tidaklah begitu banyak, tapi aktifitas yang dilakukan patut kiranya mendapatkan apresiasi yang baik sebagai wujut dari cinta alam dan usaha pelestarian.
Jika dibanding dengan perusakan hutan yang terjadi maka jauh sekali dengan aktifitas mereka, yang dikerjakan tidak tiap hari, sedangkan pengrusakan hutan terjadi tiap hari dari berbagai kelompok baik yang terorganisir maupun yang tidak terorganisir.
Apakah laju kerusakan hutan dengan pelestarianya bisa seimbang ? Jelas tidak mungkin, ibarat melangkah, para pelestari hutan hanya setapak setapak mencapai kemajuan, tapi para pengrusak hutan berjalan bukan setapak, tapi tiap langkah adalah 1 km, bisa dibayangkan ketimpangan ini akan semakin menjauh jarak pelestarian dengan pengrusakan hutan.
Siapakan yang peduli ? Tidak ada !! kecuali para pencinta alam dan lingkungan yang hanya mengandalkan nurani, dan dana yang tidak seberapa. itupu melaui beberapa donatur yang dengan tulus demi untuk kelestarian yang diharapkan bisa terwujud.
Meskipun demikian para pencinta alam terus saja berkarya, meski belum bisa di rasakan, namun kontribusi untuk upaya perbaikan lingkungan patut mendapatkan pujian yang layak.

Kamis, 20 Mei 2010

Sistem Konservasi Air Pertama di Asia Pasifik

Air Minum dan Air Limbah
2010-03-09


Nah, sekarang ada sistem konservasi air terbaru yang berhasil diterapkan di Indonesia. Namanya, Curieau. Ini adalah sistem yang dapat mengolah air limbah menjadi air layak pakai. Perusahaan pertama yang menerapkan sistem ini adalah Frisian Flag Indonesia (FFI). Sampai saat ini, FFI adalah satu-satunya perusahaan (dari cakupan wilayah Asia Pasifik) yang menerapkan sistem ini. FFI telah mengolah air limbah sejak tahun 1971. Air limbah yang telah ramah lingkungan tersebut dibuang ke sungai terdekat. Nah, sejak penerapan Curieau, 50 persen dari air limbah tersebut diolah kembali untuk digunakan sebagai bahan produksi pabrik. Ini dilakukan untuk mengurangi pemakaian sumber daya air sumur dalam yang semakin menipis karena pemakaian yang tidak efisien (tepat).

Cara Kerja

Air limbah yang sudah diolah sebelumnya, diproses kembali ke dalam beberapa tahapan. Nah, berikut tahapan-tahapannya :

1. Multimedia filtration : menghilangkan kandungan nitrogen dan residu yang terdapat dalam air.

2. Advanced oxidation : menghilangkan kandungan protein, karbohidrat atau lemak, serta menghilangkan warna dan sisa disinfektan.

3. Activated carbon filtration : menghilangkan polusi organik, warna, dan bau.

4. Absolute filtration : (kembali) menghilangkan residu lain yang mungkin masih ada bakteri, warna, dan bau.

5. Water hardening tank : menambahkan kesadahan air hingga level aman untuk digunakan kembali.

6. Water storage tank : tempat penyimpanan air sebelum digunakan lebih lanjut.

7. Final disinfection : disinfeksi ketiga menggunakan sinar ultraviolet.

Dengan sistem ini, air hasil limbah produksi tidak akan mencemari air sungai sekitar. Namun, air olahan ini justru dapat digunakan kembali untuk keperluan produksi. Jika semua pabrik di Indonesia menggunakan sistem ini, pencemaran air di Indonesia bisa berkurang. Kita pun bisa melihat air sungai kembali jernih.

Teman-teman juga bisa ikut membantu dengan tidak membuang sampah ke sungai. Mari lestarikan lingkungan kita!

Sumber : Koran "Berani" Th.4 No.221 Jum'at, 5 Maret 2010

Rabu, 19 Mei 2010

Tropical Rainforest in Papua

Tropical rainforest is important for all of us because it is the largest producer of oxygen that we breath every time. In recent years, illegal and irresponsible logging continue to threaten the existence of this forest. There are hundreds of animal species that live in the jungle of Papua as well as various precious plants that have important role in supplying food both for animals and villagers living near the forest.
In the picture below, we see how the indigenous Papuan climb a giant tree to catch bird living in a hole of its branch. The drawing was made by Papuan artist Paull Warere. He wants to tell the viewers how important the trees are for the livelihood of villagers.

Visit the painting and drawings of Papuan Artist
Painting Order Form
The forest or jungle is their source of food. They hunt animals such as boar, deer, kasuari bird, kuskus, soa-soa and many animals as food for them. In addition, they also harvest vegetables such as the leaves of Ganemo, Gohi, Pumpkin and etc from the forest. Large rivers in West Papua have become the main route of water transportation linking many villages from coastal up to the interior mountainous region.

road along the Gunung Meja Forest in Manokwari of West Papua
Although the modern society who live in big cities such as Jakarta, Surabaya, Medan and Semarang do not directly depend their living on tropical rainforest of Papua, the CO2 emission that their motorcycles and cars release or emit into the atmosphere is a heavy burden for tropical rainforest of Papua to neutralize. The more CO2 gases we emit into the air, the more likely the acid rain will harm the leaves of the trees.
Therefore, it is important for us to reduce our CO2 emission by lowering the use of fossil fuels and other non-renewable resources. The easiest thing that we can do is reducing the use of plastics, increasing the use public transportation and minimizing the use of air conditioning machine in our homes. by Charles Roring

Strategi baru untuk melestarikan hutan tropis

Pergeseran alasan penggundulan hutan akibat alasan kemiskinan ke alasan perusahaan memiliki implikasi penting bagi pelestarian.

Dalam jangka waktu hanya 1-2 dekade, sifat dari perusakan hutan tropis telah berubah. TIdak lagi didominasi oleh petani desa, kini penggundulan hutan secara substansial digerakkan oleh industri besar dan globalisasi ekonomi, melalui pengumpulan kayu, penambangan minyak, pengembangan minyak dan gas, pertanian skala bear, dan perkebunan pepohonan eksotis yang menjadi sebab-sebab paling sering dari hilangnya hutan. Walau mempengaruhi tantangan serius, perubahan seperti ini juga menciptakan kesempatan-kesempatan baru yang penting bagi pelestarian hutan. Menurut kami, dengan lebih mengarahkan target kampanye masyarakat pada korporasi-korporasi dan kelompok-kelompok dagang yang strategis, kepentingan pelestarian bisa saja memberikan pengaruh yang lebih kuat pada nasib hutan tropis.

Pendahuluan

Hutan tropis, secara biologis, merupakan ekosistem terkaya di bumi dan berperan penting dalam hidrologi regional, penyimpanan karbon, dan iklim global [1,2]. Namun perusakan hutan tropis dengan cepat terus berlanjut, dengan sekitar 13 juta hektar hutan dihabisi setiap tahunnya [3]. Walau angka ini tidak berubah secara mencolok di dekade-dekade terakhir ini, dasar dari penggerak penggundulan hutan sedang bergeser – dari kebanyakan penggundulan hutan yang digerakkan oleh kebutuhan hidup di tahun 1960an-1980an, ke lebih banyak penggundulan hutan yang digerakkan oleh industri akhir-akhir ini [4-6]. Tren ini, kami tegaskan, memiliki implikasi kunci untuk pelestarian hutan.

Dari tahun 1960an-1980an, penggundulan hutan tropis ditiupkan secara luas oleh kebijakan-kebijakan pemerintah untuk pengembangan pedesaan, yang mencakup peminjaman untuk pertanian, pajak insentif, dan konstruksi jalanan, bersamaan dengan pertumbuhan populasi yang cepat di banyak negara berkembang [4-6]. Inisiatif-inisiatif ini, terutama terlihat di negara-negara seperti Brazil dan Indonesia, mendorong munculnya gelombang arus yang dramatis para penduduk ke daerah perbatasan dan sering kali menyebabkan kerusakan hutan secara cepat. Dugaan bahwa para petani skala kecil dan peladang yang berpindah-pindah bertanggungjawab pada hilangnya hutan kebanyakan [7] mengarah pada sebuah pendekatan konservasi seperti Integrated Conservation and Development Projects (ICDP), yang berusaha menghubungkan konservasi alam dengan pembangunan desa yang berkelanjutan [8]. Bagaimanapun juga, sekarang ini banyak yang percaya bahwa ICDP telah sering gagal akibat kelemahan pada perencanaan dan implementasi, dan karena masyarakat lokal biasa menggunakan dana ICDP untuk meningkatkan pendapatan mereka, bukan untuk mengganti keuntungan yang telah mereka dapatkan dari mengeksploitasi alam [9-23].




Small-holder deforestation in Suriname (top) and Borneo (bottom)
Baru-baru ini, pengaruh kuat langsung dari masyarakat pedesaan pada hutan tropis tampaknya telah stabil dan bahkan telah berkurang di beberapa wilayah. Walau banyak negara tropis masih memiliki pertumbuhan populasi yang tinggi, tren urbanisasi yang kuat di negara berkembang (kecuali di Sub-Saharan Afrika) menunjukkan bahwa populasi di pedasaan tumbuh dengan lebih lambat, dan di beberapa negara mulai menurun (Figur 1) [14, 15]. Popularitas program perpindahan penduduk ke perbatasan skala besar telah pula menyusut di beberapa negara [5, 16, 17]. Jika tren seperti itu berlanjut, mereka mungkin meringankan tekanan pada hutan dari kegiatan pertanian skala kecil, berburu, dan mengumpulkan kayu bakar [18].

Pada saat yang bersamaan, pasar finansial yang telah terglobalisasi dan tingginya komoditas dunia menciptakan sebuah lingkungan yang amat menarik bagi sektor swasta [5, 6]. Sebagai hasil, industri penebangan kayu, penambangan, pengembangan minyak dan gas, dan terutama pertanian skala besar semakin muncul sebagai penyebab dominan dari kerusakan hutan tropis [6, 19-22]. Di Amazonia Brazil, contohnya, pertanian skala besar telah meledak, dengan jumlah hewan ternak yang meningkat lebih dari 3 kali lipat (dari 22 ke 74 juta kepala) sejak 1990 [23], sementara industry penebangan kayu dan pertanian kedelai juga telah tumbuh dengan dramatis [24, 25]. Gelombang permintaan akan padi-padian dan minyak yang dapat dikonsumsi, didorong oleh kebutuhan dunia akan biofuel dan kenaikan standar hidup di negara-negara berkembang, membantu memacu tren ini [19, 26, 27].

Walaupun kita dan yang lain khawatir dengan bangkitnya penggundulan hutan skala industri (figure 2), kami berpendapat bahwa itu juga merupakan tanda munculnya kesempatan untuk perlindungan dan manajemen hutan. Daripada berusaha mempengaruhi ratusan juta penduduk hutan di daerah tropis – sebuah tantangan yang mengecilkan hati, paling baik – pendukung pelestarian sekarang bisa memfokuskan perhatian mereka pada jumlah korporasi pengeksploitasi sumber yang jauh lebih kecil. Banyak dari mereka adalah perusahaan multinasional atau perusahaan domestik yang mencari akses ke pasar internasional [6, 19-22], yang mendorong mereka untuk menunjukkan beberapa sensitifitas terhadap masalah-masalah lingkungan yang tumbuh kepada konsumen global dan pemegang saham. Saat mereka em, korporasi seperti itu menjadi cukup lemah untuk diserang citra publiknya.

Melawan Korporasi

Saat ini, beberapa korporasi dapat dengan mudah mengabaikan lingkungan. Kelompok-kelompok konservasi pun belajar untuk menarget perusahaan-perusahaan yang melanggar, memobilisasi dukungan melalui boikot konsumen dan kampanye kesadaran publik. Sebagai contoh, mengikuti sebuah usaha pemberantasan yang intens dari masyarakat, Greenpeace baru-baru ini menekan penghancur kedelai terbesar di Amazonia untuk melaksanakan sebuah proses penangguhan pada pengolahan kedelai, menunda pengembangan dari sebuah mekanisme pelacakan untuk memastikan hasil panen mereka datang dari produsen-produsen yang bertanggungjawab pada lingkungan [28]. Boikot sebelumnya oleh Rainforest Action Network (RAN) mendorong beberapa rantai retail utama di AS, termasuk Home Depot dan Lowe’s, untuk mengubah kebijakan belanja mereka untuk menyokong produk-produk kayu yang lebih mendukung [29]. Di bawah ancaman dari publisitas negative, RAN bahkan telah meyakinkan beberapa perusahaan-perusahaan finansial terbesar di dunia, termasuk Goldman Sachs, JP Morgan Chase, Citigroup dan Bank of America, untuk memodifikasi praktek-praktek peminjaman dan pembiayaan untuk proyek-proyek kehutanan [30].




Tren akhir-akhir ini membuat para kelompok konservasi lebih mudah untuk menguasai industri-industri pengeksploitasi sumber alam. Berkat skala ekonomi, korporasi multinasional kerap menemukan bahwa lebih efisien untuk mengkonsentrasikan kegiatan mereka pada beberapa negara besar, karena mengurangi jumlah dari wilayah geografis yang diawasi dengan aktif oleh kelompok-kelompok konservasi. Lebih lagi, banyak industri, yang termotivasi oleh ketakutan akan publisitas negatif, mendirikan koalisi yang mengaku mendukung keberlangsungan lingkungan sesama anggota mereka. Contoh dari kelompok industri seperti ini termasuk Alianc¸a da Terra untuk para peternak di Amazonia [31], Roundtable on Sustainable Palm Oil di Asia Tenggara, dan Forest Stewardship Council untuk industri kayu global. Karenanya, daripada menargetkan ratusan korporasi yang berbeda, para penggiat konservasi dapat menciptakan dampak besar dengan hanya menyerang beberapa titik tekanan industri.

Korporasi juga dikuasai oleh wortel dan tongkat. Perusahaan yang membeli keberlangsungan, menikmati pertumbuhan menjadi pilihan konsumen dan harga-harga premium untuk produk ramah lingkungan mereka. Menurut sumber-sumber industri [32], sebagai contoh, produk kayu 'hijau’ – yang diproduksi dengan cara yang bersahabat bagi lingkungan – tercatat penjualan sebesar $7,4 milyar di Amerika Serikat di tahun 2005, dan diharapkan akan tumbuh hingga $38 milyar pada tahun 2010. Penghargaan seperti ini mungkin mendapat pengaruh yang lebih besar pada korporasi multinasional, yang harus berusaha menjaga konsumen dan pemegang saham internasional mereka senang, daripada pada perusahaan lokal yang bekerja sendirian di negara-negara berkembang [33].

Tantangan baru

Meningkatnya pengaruh kuat para perusahaan penggundul hutan juga memiliki sisi lemah. Industrialisasi dapat mempercepat kerusakan hutan, dengan hutan yang dulunya dipangkas secara langsung oleh petani-petani skala kecil saat ini dengan cepat dilindas oleh bulldozer. Lebih lagi, aktifitas industri seperti penebangan, penambangan, pengembangan minyak dan gas mendukung penggundulan hutan, tak hanya secara langsung tapi juga tak langsung, dengan menciptakan daya dorong ekonomi yang amat kuat untuk pembangunan jalan-hutan. Setelah terbangun, jalan-jalan ini dapat melepaskan berbagai invasi hutan yang tak terkontrol oleh para penduduk, pemburu, dan makelar tanah [20, 21, 24].

Masalah utama lain adalah tak semua pasar merespon pada prioritas lingkungan. Di banyak negara berkembang, kekhawatiran lingkungan terkubur oleh meningkatnya permintaan dari kelas menengah yang sedang tumbuh. Sebagai contoh, konsumen Asia sejauh ini menunjukkan sedikit ketertarikan pada produk-produk kayu yang memiliki sertifikat lingkungan [34], tidak seperti konsumen di Amerika Utara dan terutama Eropa. Lebih lagi, saat harga untuk material mentah membumbung tinggi, sebuah perebutan akan sumber alam dapat terjadi, membuat kelangsungan lingkungan hanya sebuah pikiran belaka dibandingkan permintaan yang meningkat.

Akhirnya, bahkan berlimpahnya konsumen yang sadar lingkungan tak dapat menjamin tingkah laku yang baik dari sebuah perusahaan (lihat Box 1). Banyak korporasi telah dituduh ‘greenwashing’ – berpura-pura memproduksi produk hijau yang sebenarnya hanya memiliki keuntungan kecil bagi lingkungan. Di industri kayu tropis, sebagai contoh, beberapa kelompok meragukan, yang disponsori oleh industri, telah berusaha untuk berkompetisi dengan badan-badan sertifikasi lingkungan legal seperti Forest Stewardship Council [35]. Melacak produk-produk dari hutan ke konsumen terakhir – melalui rantai perantara, manufaktur dan penjual retail – dapat menjadi sangat sulit. Sebagai contoh, Greenpeace [36] baru-baru ini mengungkapkan bahwa raksasa makanan seperti Nestle, Procter and Gamble, dan Unilever menggunakan minyak kelapa yang ditanam di lahan-lahan yang baru saja gundul, meski ada jaminan sebaliknya dari Roundtable on Sustainable Palm Oil. Kerumitan seperti itu memberikan penghargaan pada mereka yang curang dan menghilangkan keuntungan bagi korporasi yang melakukan usaha-usaha baik mendukung keberlangsungan tersebut.

Masa depan




Thomaz W. Mendoza-Harrell
Meskipun ada kerumitan seperti itu, para penggiat konservasi harus belajar untuk menghadapi perusahaan-perusahaan penggerak penggundulan hutan tropis dengan lebih efektif dan bertenaga. Penggerak-penggerak seperti ini di masa depan pasti akan meningkat karena aktifitas industri global diramalkan akan berkembang hingga 300-600% pada tahun 2050, dengan banyaknya negara berkembang [37]. Untuk mereka, sebuah peningkatan angka pada perusahaan menyadarkan bahwa keberlangsungan lingkungan hanyalah sebuah bisnis yang bagus. Dari tren seperti itu, kami melihat banyak dibutuhkan dialog dan debat antara kepentingan industri, keilmuan, dan konservasi di wilayah tropis. Selain dari pengaruh kelompok-kelompok lingkungan, pengaruh kuat dari industri juga akan ditengahi oleh kebijakan-kebijakan pemerintah dan perjanjian internasional, seperti UN Framework Convention on Climate Change and the Convention on Biological Diversity. Sebagai contoh, subsidi pemerintah secara besar-besaran untuk ethanol jagung saat ini menciptakan distorsi pasar yang mendukung penggundulan hutan di Amazon [23], yang mana sebenarnya pertukaran karbon internasional pada akhirnya dapat memperlambat kerusakan hutan di beberapa negara tertentu [38, 39]. Karena kebijakan-kebijakan seperti itu dapat berubah secara cepat dan memiliki pengaruh yang luas, para penggiat konservasi mengabaikan mereka atas resiko sendiri.

Perubahan ada di kita. Pada satu sisi, globalisasi dan industri pertanian yang cepat, penebangan, penambangan dan pembuatan biofuel muncul sebagai penggerak dominan dari penggundulan hutan. Di sisi lain, pertumbuhan kepedulian publik mengenai keberlangsungan lingkungan menciptakan kesempatan-kesempatan baru yang penting bagi perlindungan hutan. Dengan menargetkan industri-industri strategis dengan kampanye pendidikan bagi konsumen, kepentingan pelestarian dapat memperoleh senjata baru yang kuat dalam pertempuran untuk memperlambat perusakan hutan.

Ucapan terima kasih

Kami ucapkan terima kasih pada Thomas Rudel, Robert Ewers, Susan Laurance, Katja Bargum dan tiga referee anonim untuk komentar-komentarnya yang amat membantu.

Tantangan untuk sertifikasi ekologi

Di wilayah tropis, sama seperti di wilayah lain, skema sertifikasi ekologi menghadapi beberapa rintangan tinggi. Bahkan saat para pelanggan memilih produk-produk ramah lingkungan, sertifikasi ekologi ini dapat terhambat oleh korupsi dan pemerintahan yang lemah, ukuran tidak efektif untuk memastikan keberlangsungan lingkungan dan bocornya produk-produk tidak bersertifikat ke pasar.

Sebagai contoh, Forest Stewardship Council (FSC), yang kerap dilihat sebagai standar emas untuk sertifikasi produk-produk kayu, mendapatkan kritik besar-besaran dari beberapa kelompok lingkungan [40]. Para pengkritik mengungkapkan bahwa sertifikasi FSC pada produk dari ‘sumber campuran’, seperti furnitur yang hanya sebagian bahannya berasal dari kayu bersertifikat, merusak kredibilitasnya. Sertifikasi pada beberapa skema kayu yang meragukan, seperti perkebunan monokultur di lahan-lahan bekas hutan, juga merusak label [40]. Tahun lalu, sebuah penyelidikan dari Wall Street Journal memaksa FSC untuk secara efektif mencabut sertifikasi dari Asia Pulp and Paper Company yang berkantor di Singapura karena melakukan kegiatan yang merusak lingkungan di Pulau Sumatra, Indonesia [41].

Korupsi dan penggelapan juga termasuk dalam kekhawatiran. Berkolaborasi dengan petugas yang korup, bisa membuat beberapa perusahaan memperoleh sertifikasi yang tidak benar atas produk mereka, dimana sebuah perusahaan bisa mengaku memiliki sertifikasi padahal mereka tidak memilikinya. Sebuah laporan baru-baru ini tentang penebangan ilegal di Asia Tenggara, contohnya, menguak bahwa paling tidak dua perusahaan furnitur besar memasarkan produk-produk bersertifikasi ekologi padahal mereka tidak memiliki label tersebut [42].

Tantangan lain adalah mengevaluasi dengan benar berbagai aktifitas perusahaan kayu internasional. Para penyertifikasi ekologi telah dituduh terlalu menyempitkan fokus pada operasidi dalam pusat wilayah konservasi dan mengabaikan operasi perusakan di daerah lain [40]. Sebagai tambahan, perusahaan kayu seringkali membeli kayu dari bermacam-macam sumber dan sub-kontrak ke perusahaan lain, dan itu bisa menjadi sangat sulit untuk ditentukan apakah cabang-cabang dan rekan-rekan mereka tersebut terkait pada penebangan yang merusak [36].

Di akhir, beberapa kritik berpendapat bahwa operasi kayu yang bersertifikasi ekologi jarang sekali memiliki dampak berkelanjutan pada jangka waktu yang panjang. Penebangan yang berulang-ulang di hutan yang pertumbuhannya lama dapat mengurangi stok karbon dan menurunkan habitat untuk spesialisasi hutan, karenanya mengancam keanekaragaman hayati [1]. Lebih jauh, hutan yang ditebangi jauh lebih mudah mengering, terbakar, dan gundul dibandingkan dengan daerah yang tidak ditebangi [24, 43].

MELINDUNGI HUTAN INDONESIA

Di seluruh dunia, hutan-hutan alami sedang dalam krisis. Tumbuhan dan binatang yang hidup didalamnya terancam punah. Dan banyak manusia dan kebudayaan yang menggantungkan hidupnya dari hutan juga sedang terancam. Tapi tidak semuanya merupakan kabar buruk. Masih ada harapan untuk menyelamatkan hutan-hutan ini dan menyelamatkan mereka yang hidup dari hutan.
Hutan purba dunia sangat beragam. Hutan-hutan ini meliputi hutan boreal—jenis hutan pinus yang ada di Amerika Utara, hutan hujan tropis, hutan sub tropis dan hutan magrove. Bersama, mereka menjaga sistem lingkungan yang penting bagi kehidupan di bumi. Mereka mempengaruhi cuaca dengan mengontrol curah hujan dan penguapan air dari tanah. Mereka membantu menstabilkan iklim dunia dengan menyimpan karbon dalam jumlah besar yang jika tidak tersimpan akan berkontribusi pada perubahan iklim.

Hutan-hutan purba ini adalah rumah bagi jutaan orang rimba yang untuk bertahan hidup bergantung dari hutan—baik secara fisik maupun spiritual.

Hutan-hutan ini juga merupakan rumah bagi duapertiga dari spesies tanaman dan binatang di dunia. Yang berarti ratusan ribu tanaman dan pohon yang berbeda jenis dan jutaan serangga—masa depan mereka juga tergantung pada hutan-hutan purba.

Hutan-hutan purba yang menakjubkan ini berada dalam ancaman. Di Brazil saja, lebih dari 87 kebudayaan manusia telah hilang; pada 10 hingga 20 tahun kedepan dunia nampaknya akan kehilangan ribuan spesies tanaman dan binatang. Tapi ada kesempatan terakhir untuk menyelamatkan hutan-hutan ini dan orang-orang serta spesies yang tergantung padanya.

Selasa, 11 Mei 2010

BUDIDAYA LEBAH MADU PADA EKOSISTEM MANGROVE

(Oleh : Made Suartana, S.Hut. Calon Pengendali Ekosistem Hutan BPHM Wil. I)

A. Pendahuluan

Hutan mangrove di Indonesia dengan luas ± 4,5 juta ha (Stranas Pengelolaan Mangrove, 1999.) merupakan hutan mangrove terluas di dunia. Sumberdaya yang sedemikian luas hendaknya mampu kita manfaatkan hasilnya untuk kesejahteraan masyarakat. Namun laju degradasi hutan mangrove saat ini terus terjadi, penyebabnya antara lain : over cutting, alih fungsi lahan menjadi tambak, perumahan, pertokoan, pelabuhan, bandara, jalan, dan lain-lain.

Pada saat ini paradigma pengelolaan hutan di Indonesia mengalami pergeseran dari timber management ke forest resources base management (community development). Kebijakan ini menitikberatkan pada pemberdayaan masyarakat, diharapkan masyarakat dapat berpartisipasi aktif dalam pengelolaan hutan. Sehingga tumbuh rasa memiliki dan tanggung jawab terhadap keberadaan hutan. Mengingat sumberdaya hutan berupa kayu yang semakin sedikit, maka pemanfaatan hasil hutan bukan kayu (HHBK) merupakan alternatif pemanfaatan kedepan.

Lebah Madu merupakan salah satu HHBK berpotensi cukup baik untuk dikembangkan pada ekosistem mangrove. Mengingat keragaman flora mangrove yang sebagian besar mempunyai bunga yang mengandung pollen dan nektar sebagai suplai sumber pakan bagi koloni lebah.

B. Anatomi Lebah Madu

Anatomi lebah madu terdiri dari 2 (dua) bagian yaitu :

Struktur Eksternal

•Kepala (caput)
Komponen utama dari kepala adalah mata, antena dan mulut. Mata dibedakan menjadi dua yaitu mata majemuk (compound eyes) yang terletak di kedua sisi kepala dan mata sederhana (ocelli) di bagian dahi dengan letaknya membentuk segitiga.

Mulut terdiri dari bagian pemotong benda keras (mandibula) dan proboscis yang berupa belalai berfungsi sebagai penghisap bahan cair seperti air, nektar dan madu.

Sepasang antena yang terdapat pada kepala berfungsi sebagai alat peraba yang responsif terhadap rangsangan mekanis dan juga kimiawi.

•Dada (thorax)
Dada berstruktur keras terdiri dari empat segmen yang saling berhubungan erat, yaitu:

•P rothorax : yaitu bagian yang menopang sepasang kaki pertama
•M esothorax : yaitu bagian terbesar yang menopang sayap dan sepasang kaki tengah
•M etathorax : yaitu menopang pasangan sayap belakang dan pasangan kaki belakang
•P ropodeum : yaitu bagian terbesar internal dada diisi oleh otot-otot yang menggerakkan sayap, kaki, kepala dan perut di bawah kooordinasi sistem syaraf.
Lebah memiliki tiga pasang kaki dan masing-masing kaki terdiri dari enam segmen yang dihubungkan oleh penghubung fleksibel. Pada bagian kaki belakang lebah pekerja terdapat sebuah kantong pollen berbentuk konkaf yang berfungsi untuk mengumpulkan pollen (tepung sari bunga). Pollen akan menempel di sepasang kaki belakang lebah madu.

•Perut (abdomen)
Pada lebah ratu dan pekerja, terlihat jelas enam segmen perut dan tiga segmen lainnya mengalami degradasi dan perubahan bentuk sehingga tidak dapat dibedakan. Pada lebah jantan terlihat jelas tujuh segmen.

Setiap segmen perut terdiri dari dua lembaran yaitu atas dan bawah, di mana lembaran atas (tergum) lebih besar dari lembaran bawah (sternum).

•Sengat
Sengat lebah madu mirip dengan ovipositor (penyemprot ovum), tetapi telah mengalami modifikasi sehingga cocok untuk menyemprotkan api-toxin (racun lebah). Setelah sengat ditusukkan, tangkai dan kantong toxinnya akan terpisah lepas dari tubuh dan oleh gerakan refleks cepat memompa toxin ke luka yang dibuat. Lebah pekerja yang telah berhasil menyengat korbannya biasanya segera mati.

Struktur Internal

•Sistem Pencernaan
Sistem pencernaan makanan pada lebah madu terdiri dari: mulut, esofagus, kantong madu, proventriculus, ventriculus, usus besar, colon dan rectum.

•Sistem Penginderaan
Sistem penginderaan pada lebah madu meliputi indera penglihat, indera pencium, dan indera peraba.

Indera penglihat pada lebah adalah mata majemuk yang berfungsi mendeteksi suatu obyek secara akurat; dan mata ocelli fungsinya belum diketahui secara jelas tapi diduga peka terhadap perubahan intensitas cahaya.

Indera pencium terdapat pada antena lebah. Fungsinya untuk mengenali dan mempersepsikan bau secara cepat dan tajam untuk berbagai aktivitas sehari-hari.

Indera peraba adalah yang paling berkambang pada lebah madu. Tugas terbanyak lebah pekerja didasarkan atas tuntunan indera peraba. Indera ini bisa menguji secara tepat dan akurat setiap obyek yang disentuhnya.

•Sistem Reproduksi
Organ reproduksi yang berkembang sempurna hanya pada lebah jantan dan ratu. Seekor lebah ratu dewasa yang produktif dapat mengeluarkan telur antara 1000-2000 sel telur per hari. Karena itu ovariumnya sangat besar hampir memenuhi rongga perut. Di dalam tubuh lebah ratu terdapat juga spermateka yang berfungsi menyimpan sperma pada waktu lebah ratu kawin.

Sel telur yang dibuahi akan menetas menjadi lebah ratu atau pekerja, tergantung feeding system dan telur yang tidak dibuahi akan menetas menjadi lebah jantan. Ratu lebah dapat menyimpan sperma hidup di dalam spermateka selama beberapa tahun, tiga tahun atau, dan menelurkan telur menurut keinginannya.

C. Jenis Lebah

Ada beberapa jenis lebah ( Pusat Perlebahan Pramuka, 2002.) diantaranya :

Apis andreniformis

Lebah ini asli Indonesia yang membangun sarangnya secara tunggal selembar yang digantungkan ditempat-tempat terbuka pada cabang-cabang pohon atau bukit batu yang terjal. Sampai saat ini belum bisa dibudidayakan.

Apis cerana

Merupakan lebah madu asli Asia dan telah lama dibudidayakan. Cara pemeliharaannya sebagian masih tradisional di dalam gelodok atau tempat-tempat sederhana lainnya. Sebagian sudah memelihara secara modern dalam kotak stup yang bisa dipindah-pindahkan. Lebah ini mempunyai daya adaptasi yang tinggi, namun sangat agresif.

Apis dorsata

Berkembang hanya di kawasan sub tropis dan tropis Asia dan dikenal sebagai madu hutan. Di Indonesia banyak terdapat di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Papua, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur. Mempunyai sifat yang agresif dan ganas, sehingga sampai saat ini belum bisa dibudidayakan.

Apis florea

Lebah jenis ini memiliki ukuran tubuh yang paling kecil diantara species lebah madu lainnya. Bisa berasosiasi dengan Apis cerana , Apis dorsata , Apis mellifera .

Apis konchevnikovi

Merupakan species yang baru dikenal oleh beberapa ilmuwan. Terdapat warna merah disebagian besar tubuhnya, dengan ukuran lebih besar dari A. cerana. Bisa di temukan di Kalimantan dan Sumatera bagian barat.

Apis laboriosa

Hanya terdapat di pegunungan Himalaya, pada ketinggian > 1200 m diatas permukaan laut (m dpl). Informasi masih sangat terbatas.

Apis mellifera

Hampir semua budidaya lebah madu memilih jenis ini, termasuk di Indonesia. Keunggulan dari lebah ini adalah: jinak, adaptable, tidak mudah kabur, relatif mudah perawatannya, dan produktif. Tetapi ada satu kelemahannya, lebah ini peka terhadap penyakit, terutama terhadap parasit tungau Varroa. Dengan keunggulannya maka lebah ini berpotensi untuk di budidayakan pada ekosistem mangrove.

Secara taksonomi lebah madu termasuk kedalam :

Kingdom
: Animalia

Phylum
: Arthropoda

Class
: Insecta

Order
: Hymenoptera

Family
: Apidea

Genus
: Apis

Species
: Apis andreniformis

Apis cerana

Apis dorsata

Apis florea

Apis konchevnikovi

Apis laboriosa

Apis mellifera


D. Pengenalan Koloni Lebah

Dalam 1 (satu) koloni lebah hanya terdapat 1 (satu) ekor ratu (queen), puluhan sampai ratusan lebah jantan (drones), belasan ribu sampai puluhan ribu lebah pekerja (worker-bees), ditambah anggota lainnya seperti telur, larva dan pupa.

Koloni lebah madu merupakan satu kumpulan lebah yang terorganisasi sangat baik dengan pembagian peran sebagai berikut :

Ratu (queen), mempunyai tugas sebagai penghasil telur. Ukuran tubuh 2 (dua) kali lebih panjang dan 2,8 kali bobot lebah pekerja. Mampu bertelur 1000-2000 telur per hari sampai umur 3-5 tahun.

Jantan (drones), satu-satunya fungsi lebah jantan selama hidupnya adalah mengawini ratu perawan (virgin queen). Mata dan sayapnya lebih besar dari kedua strata lebah lainnya.

Lebah pekerja (worker-bees), adalah lebah betina yang organ reproduksinya tidak berkembang sempurna. Tetapi lebah pekerja mempunyai organ-organ tubuh yang memungkinkannya mampu melakukan berbagai tugas dalam koloni.

Dalam siklus hidupnya secara umum lebah pekerja mempunyai tugas sesuai dengan umur seperti pada Tabel 1.

Tabel 1. Pembagian Tugas Lebah Pekerja

Umur (hari)
Tugas

3

4-9

10-16

17-19

20

21-mati
Membersihkan sarang

Merawat larva

Membangun sel

Menerima nektar dan tepung sari yang dibawa lebah pekerja lapangan untuk disimpan

Menjaga sarang dari musuh-musuhnya

Menjadi lebah lapangan untuk mencari nektar, pollen dan air.


Secara ringkas waktu yang dibutuhkan dalam perkembangan lebah madu, mulai dari stadium telur sampai lebah dewasa, seperti pada Tabel 2.

Tabel 2. Siklus Hidup Lebah Madu

Stadium
Lebah Pekerja
Lebah Ratu
Lebah jantan

Telur

Larva

Pupa

Dewasa
3

4-9

10-20

21
3

4-9

10-15

16
3

4-9

10-23

24


E. Pengelolaan Koloni

Tujuan utama dari pengelolaan koloni adalah menjaga koloni lebah agar tetap hidup, berkembang biak dan sehat serta menjamin produk-produk perlebahan antara lain madu, royal jelly dan pollen dapat terus dihasilkan tanpa mengganggu perkembangan koloni tersebut.

Untuk menjaga agar koloni lebah tetap survive ada beberapa hal yang harus diperhatikan, antara lain :

•Menempatkan koloni lebah pada lokasi sesuai yang dikehendaki dengan memperhatikan ketersediaan pangan, ketinggian tempat, tingkat polusi udara dan suara, bukan daerah pertanian yang menggunakan pestisida secara intensif.
•Mempersatukan koloni kecil dan lemah dengan maksud mempertahankan keberadaan koloni.
•Pengembangan koloni.
•Pengendalian hama dan penyakit.
•Pemeriksaan koloni dilakukan secara teratur (2-3 kali seminggu).

F. Sumber Pakan Lebah

Sumber pakan lebah madu adalah tanaman yang meliputi: tanaman buah-buahan, tanaman sayur-sayuran, tanaman hias, tanaman pangan dan perkebunan , tanaman kehutanan, termasuk flora mangrove. Syaratnya adalah b unga dari tanaman tersebut mengandung nektar dan tepungsari bunga (pollen) .

Nektar

Nektar adalah zat manis yang berasal dari tanaman, mengandung 15-50% larutan gula. Nektar berfungsi sebagai sumber energi untuk mempertahankan suhu tubuh koloni lebah dan juga merupakan bahan baku pembuatan madu. Pada tanaman, nektar dihasilkan pada bagian: dalam atau dekat bunga disebut nektar floral; dan nektar yang dihasilkan pada bagian lain tumbuhan disebut nektar ekstrafloral.

Pollen

Pollen dimakan oleh lebah madu sebagai sumber protein dan lemak, dan sedikit karbohidrat dan mineral. Diperoleh dari bunga berupa tepungsari (sel kelamin jantan tumbuhan). Pollen diletakkan di 2/3 kapasitas sel, kemudian dilapisi dengan madu untuk mencegah pembusukan.

G. Kemampuan Mencari Pakan

Kemampuan terbang lebah madu mencari makan sejauh 1-2 km. Selama 1 hari mampu mengumpulkan kurang lebih 40mg dari berbagai bunga dalam beberapa kali penerbangan. Banyaknya nektar yang ditimbun sebagai madu dalam sarang dipengaruhi oleh:

•Ukuran dan komposisi populasi dalam koloni, terutama kehadiran dan kualitas ratu;
•Sifat menimbun lebah pekerja ada hubungannya dengan faktor genetis
•Keadaan cuaca: temperatur, kelembaban, kecepatan angin dan fotoperiode
•Kapasitas ruang penyimpanan yg tersedia pada sisiran sarang.
H. Peralatan Budidaya Lebah Madu

Peralatan utama dalam beternak lebah madu adalah rumah lebah madu berupa kotak dari papan kayu (sengon atau randu) yang disebut stup. Satu stup berisi 6-7 sisiran sebagai satu koloni dengan 1 lebah ratu.

Peralatan pelengkap: 1). Fondasi sarang, digunakan untuk mempercepat pembangunan sarang; 2). Penyekat ratu digunakan untuk menahan gerak atau menghalangi ratu supaya tidak naik ke kotak super; 3). Kurungan ratu digunakan untuk mengamankan ratu atau mengenalkan ratu sementara waktu pada koloni yang membutuhkan ratu baru; 4). Mangkokan ratu digunakan untuk membuat calon-calon ratu baru; 5). Bingkai stimulasi (feeder frame) digunakan untuk wadah pakan tambahan (stimulasi gula-sirop ).

Perlengkapan petugas: 1). Pengasap untuk menjinakkan lebah; 2). Penutup muka; 3) Pengungkit; 4).Sarung lebah; 5). Sikat lebah digunakan pada waktu panen madu untuk menghalau lebah dari sisiran sarang.

Peralatan lain: 1) ekstraktor digunakan untuk mengeluarkan madu tanpa merusak sarang; 2) Bejana penampung madu; 3)Alat penyaring; 4) mangkokan royal jelly untuk memproduksi royal jelly atau mengembangbiakkan lebah ratu; 5).Alat pengambil larva; 6). Alat pengambil royal jelly; 7). Pinset/supit; 8) Alat penyaring royal jelly.


I. Potensi Flora Mangrove

Sebagian besar flora mangrove memiliki bunga yang mengandung nektar dan pollen yang dibutuhkan oleh lebah sebagai sumber pakannya. Beberapa jenis flora mangrove beserta musim berbunga dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Flora Mangrove dan Musim Berbunga

No
Jenis
Musim Bunga (Bulan)



1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

11

12

13

14

15

16

17

18

19

20

21

22

23

24

25

26

27

28

29

30

31

32

33

34

35

36

37

38

39



40

41

42

43

44

45

46

47

48

49
Mangrove Sejati

Acanthus ebracteatus

Acanthus licifolius*

Aegialitis annulata

Aegiceras corniculatum*

Aegiceras floridum*

Amyema gravis

Avicenia alba*

Avicenia lanata*

Avicenia marina*

Avicenia officinalis

Bruguiera cylindrica*

Bruguiera exaristata

Bruguiera gymnorrhiza*

Bruguiera parviflora*

Bruguiera sexangula

Camptostemon schultzii

Ceriops decandra*

Ceriops tagal*

Excoecaria agallocha*

Gymnanthera paludosa

Heritiera littoralis

Kandelia candel

Lumnitzera littorea

Lumnitzera racemosa*

Nypa fruticans*

Osbornia octodonta

Phemphis acidula

Rhizophora apiculata*

Rhizophora mucronata*

Rhizophora stylosa*

Sarcolobus globosa

Scyphiphora hidrophyllacea

Sonnertia alba*

Sonneratia caseolaris*

Sonneratia ovata

Xylocarpus granatum*

Xylocarpus mekongensis

Xylocarpus moluccensis*

Xylocarpus rumphiis

Mangrove Ikutan

Calophyllum inophyllum*

Cerbera manghas*

Clerodendrum inerme*

Derris trifoliata*

Hibiscus tiliaceus*

Pandanus odoratissima

Pandanus tectorius*

Passiflora foetida

Sesuvium portulacastrum*

Terminalia cattappa*


Juni

Juni-Juli

September-November

Sepanjang Tahun

Sepanjang Tahun

Sepanjang Tahun

Sepanjang Tahun

Juli-Februari

Juli-Februari

Sepanjang Tahun

Sepanjang Tahun

Sepanjang Tahun

Sepanjang Tahun

Juni-September

Sepanjang Tahun

Juni-Oktober

Sepanjang Tahun

Sepanjang Tahun

Sepanjang Tahun

Oktober-Maret

Sepanjang Tahun

-

Sepanjang Tahun

-

-

Juni-Desember

-

Sepanjang Tahun

-

Sepanjang Tahun

Sepanjang Tahun

Sepanjang Tahun

Sepanjang Tahun

Sepanjang Tahun

Sepanjang Tahun

-

-

-

-



Sepanjang Tahun

-

-

September-November

Sepanjang Tahun

-

-

-

-

Sepanjang Tahun




Keterangan : * Terdapat di Tahura Ngurah Rai (Bali)

J. Antisipasi Masa Paceklik

Masa paceklik adalah masa dimana tanaman pakan lebah tidak sedang berbunga, atau tidak tersedia sumber pakan di lapangan dalam jumlah yang cukup sehingga koloni lebah kekurangan pakan. Untuk mengatasi masa paceklik, maka dapat dilakukan dengan memindahkan koloni-koloni atau mengangon ke lokasi baru dengan ketersediaan pollen dan nektar yang cukup banyak. Bisa juga dilakukan dengan penanaman / penyediaan bunga (bunga matahari atau jenis lain) disekitar lokasi budidaya. Cara terakhir apabila tidak melakukan migratory adalah pemberian stimulan berupa cairan gula pasir (1 liter air : 1 kg gula pasir ). Dengan cara demikian maka kelangsungan koloni lebah dapat terjaga.

K. Hama dan Cara Penanganan

Hama yang bisa menyerang keberadaan lebah madu antara lain:

•Tabuhan / tawon
M asih termasuk keluarga lebah tetapi pemangsa lebah madu. Pengendaliannya dengan membuat perangkap atau membakar sarang tawon ini.

•Semut
Pada serangan ringan, lebah madu tidak begitu terganggu tetapi pada seranga yang berat lebah akan hijrah. Cara menanggulanginya biasanya dengan mengoleskan oli pada kaki bangku standar stup. Secara kimiawi dilakukan dengan insektisida, dengan catatan tidak mengenai lebah dan tidak pada waktu masa produksi madu.

•Ngengat lilin
Biasanya merusak sarang lebah. Cara mengatasinya dengan: 1). Menangkap dan mematikan larva dan telur; 2). Mengecilkan pintu masuk stup; 3). Memasukkan sarang terserang pada koloni yang kuat; 4). Sanitasi lingkungan (membakar sarang rusak dan tak terpakai)

•Tungau
Tungau endoparasit adalah jenis yang hidup di saluran pernafasan lebah dan menyebabkan kematian serta serangan awalnya sulit dikenali. Tungau jenis Ektoparasit ada 2 jenis: varroa jacob dan tropilaelaps clareae. Kedua jenis tungau ini menempel di tubuh lebah yang dapat menyebabkan kematian. Pengendaliannya secara kimiawi tanpa mengganggu lebah dan tanpa pencemaran madu adalah menggunakan belerang dan kapur barus yang ditaburkan di atas karton. Kemudian disisipkan di bawah sisiran sarang pada malam hari selama 3-4 kali. Dengan cara budidaya, adalah dengan mengembangkan koloni agar lebah bisa melakukan perlawanan terhadap tungau.

L. Produk Perlebahan

Beberapa produk yang bisa diperoleh dari hasil budidaya lebah madu adalah :

•Madu
Faktor yang mempengaruhi produksi madu adalah:

◦ketersediaan pakan lebah penghasil nektar dan pollen
◦cuaca, kelembaban dan temperatur udara
◦proporsi koloni lebah yang tertinggi pada saat produksi nektar paling banyak
•Pollen
Pollen adalah tepung sari bunga yang dikumpulkan dan dibawa lebah di kedua kaki belakangnya. Pollen bisa dikumpulkan dengan cara memasang pollen trap di pintu masuk stup. Pollen perlu dikeringkan terlebih dahulu sebelum disimpan di freezer (tempat terbaik untuk penyimpanan pollen). Pollen memiliki berbagai manfaat dan nilai jual. Bisa juga pollrn diberikan ke lebah pada saat paceklik pakan.

•Royal Jelly
Royal jelly sebenarnya adalah pakan khusus/utama untuk larva lebah ratu. Produksi royal jelly adalah dengan menggunakan mangkokan ratu yang diisi dengan larva umur 1-2 hari (grafting) dan dipasangkan pada bingkai frame yang selanjutnya dimasukkan kedalam koloni. Pemanenan royal jelly dilakukan setelah 3-4 hari dari mulai grafting dengan cara mengeruk royal jelly dari queen cell. Penyimpanan terbaik di freezer. Royal jelly memiliki nilai jual tinggi dan banyak manfaat yang cukup banyak.

•Malam ( Lilin lebah, Wax)
Penggunaan malam tidak terbatas pada bidang industri lilin saja, tetapi dapat digunakan untuk industri antara lain kosmetik dan tehnik.

•Propolis
Propolis adalah bahan rekat atau dempul bersifat resin yang dikumpulkan oleh lebah pekerja dari kuncup, kulit, atau bagian lain dari tumbuhan. Dalam sarang digunakan untuk menutup celah, retakan, memperkecil lubang pintu masuk. Kandungan kimia dalam propoplis antara lain: zat aromatik, zat wangi, zat antibiotik, mineral. Dimanfaatkan sebagai obat, tapal gigi, luka usus, dll.

•Apitoxin (bee venom)
Apitoxin adalah racun atau bisa lebah yang dihasilkan lebah madu (Apis mellifera, Apis cerana, Apis dorsata) dari jenis lebah pekerja. Apitoxin mengandung senyawa kimia antara lain: triptofan, kolin, gliserin, asam fosfat, asalm falmitat, asam lemak, apramin, peptida, enzim, hystamin dan mellitin. Kandungan tertinggi adalah protein 20% (Apis mellifera). Protein yang terutama adalah mellitin. Senyawa yang ada tergolong mirip dengan senyawa yang diproduksi oleh tubuh manusia, kecuali mellitin yang dihasilkan khusus oleh lebah yang memiliki aktivitas anti bakteri yang kuat dan tahan terhadap penisilin serta anti reumatik. Manfaat sengatan lebah untuk penyembuhan beberapa penyakit antara lain: reumatik, sakit kepala, salah urat, tekanan darah tinggi/rendah,dll. Kontra indikasinya adalah penyakit jantung dan TBC.



M. Penutup

Berbagai macam produk yang dihasilkan dari budidaya lebah madu merupakan suatu potensi yang sangat baik untuk dikembangkan dan bisa dijadikan salah satu alternatif pendapatan untuk masyarakat. Terutama masyarakat yang bertempat tinggal disekitar wilayah hutan magrove yang memiliki potensi berupa kelimpahan jenis dengan bunga yang banyak mengandung nektar dan pollen sebagai pakan lebah serta musim berbunga dari beberapa jenis yang terdapat sepanjang tahun.

Diharapkan kedepan bahwa budidaya lebah madu pada ekosistem mangrove sebagai salah satu alternatif mata pencaharian masyarakat sekitar hutan mangrove. Dengan demikian selogan “Hutan Lestari Masyarakat Sejahtera” bisa terwujud.



Daftar Pustaka

Departemen Kehutanan. 1997. Strategi Nasional Pengelolaan Mangrove di Indonesia. Jakarta.

Pusat Perlebahan Pramuka (Apiari Pramuka). 2002. Buku Petunjuk Beternak Lebah. Jakarta.

Rusila Noor, Y., M. Khazali, I N.N. Suryadiputra. 1999. Panduan Pengenalan Mangrove di Indonesia. PKA/WI-IP, Bogor.

Taniguchi, K., Takashima, S., Suko, O., 1999. Manual Silvikultur Mangrove untuk Bali dan Lombok. Departemen Kehutanan dan Perkebunan Republik Indonesia dan Japan International Cooperation Agency. Bali.

INDAHNYA HUTAN MANGROVE




Gambar ini menunjukkan betapa indahnya hutan mangrove, meski gambat tersebut belum cukup dianggap hutan mangrove
Yah baru tanaman mangrove, tapi sudah bisa memberi arti yang baik bagi sekelompok kepiting atau yang lainnya untuk sekedar singgah, dan coba anda bayangkan jika tanaman mangrove sedemikian luas, maka akan banyak keuntungan bagi sekelompok kepiting dan hewan lain, bisa jadi akan di jadikan rumah bagi mereka dan mereka akan beranak pinak, kemudian sekolompok ikan juga akan sering bertelur di daerah tersebut, sehingga lautan kita akan kaya raya dengan aneka ikan,
Hutan bakau tersbut akan memberikan kepada kita keuntungan dari hasil ikan ikan yang beranak pinak di situ, dan yang paling memberikan rasa tenang adalah abrasi laut apat terkurangi, dan daratan akan terus bisa maju seiring dengan pertumbuhan kawasan hutan mangrove tersebut.
Cobalah untk memberikan perhatian sedikit terhadap hutan mangrove , dalam generasi berikut anak cucu kita akan mewarisi hasil kerja nenek moyang yang teramat indah, dan dengan demikian kita telah memberikan warisan alam yang terjaga, an akan memberikan ketentraman bagi anak cucu kita dan mereka akan berdamai dalam hidup berkecukupan dengan alam yang melimpah memberikan kepada mereka hasil yang terus menerus .
semoga kita bisa mempersiapkan tempat bagi anak cucu kita dengan tempat yang gemah ripah loh jinawi