Minggu, 20 Juni 2010

Peningkatan Peran Rimbawan dalam Sistem Pengelolaan Hutan Lestari Di Indonesia

Pendahuluan

Hutan tropis di Indonesia menurut berbagai literatur dinyatakan sebagai emas hijau yang merupakan bagian dari rangkaian zamrud khatulistiwa dengan nilai keindahan dan kekayaan yang luar biasa. Sumberdaya hutan ini merupakan hutan hujan tropis terbesar ketiga setelah Zaire dan Brazil. Kekayaan alam yang dimiliki hutan tropis Indonesia sangat berlimpah terutama dalam hal biodiversitasnya. Kelimpahan dan keunikan biodiversitas yang dimiliki ternyata tidak hanya bermanfaat bagi bangsa Indonesia saja melainkan juga bermanfaat bagi seluruh masyarakat di dunia terutama dalam perannya sebagai penyangga ekosistem planet bumi.

Sebagai negara kepulauan, penyebaran aneka macam biografi Indonesia sangat dipengaruhi oleh ekosistem Indomalaya di bagian barat dan ekosistem Austratralia di bagian timur. Demikian pula, beberapa pulau kecil yang terpisah dari daratan yang luas membentuk suatu ekosistem khas dan spesifik serta menyatu dengan penduduk yang bermukim dan menghuni wilayah tersebut. Keadaan ini menjadikan Indonesia sebagai sebuah megaspesies yang sangat potensial, strategis dan multidimensi. Beberapa fakta melimpahnya kekayaan alam Indonesia dapat ditunjukkan oleh tingginya prosentase kekayaan alam yang dimiliki dibandingkan dengan wilayah lain di dunia.

Seiring dengan pesatnya pembangunan di Indonesia dan kekhawatiran dampaknya terhadap kelestarian sumberdaya hutan mendorong lahirnya berbagai kesepakatan tentang pembangunan berkelanjutan dan pelestarian hutan tropis. Kesepakatan-kesepakatan tersebut pada dasarnya mempunyai kesamaan prinsip dasar yaitu sumberdaya hutan merupakan sumberdaya publik sehingga bukan lagi hanya milik komunitas suatu negara saja melainkan seluruh komunitas dunia. Peran dan fungsi hutan yang bersifat multi dimensi dan lintas territorial menjadikan hutan Indonesia menjelma menjadi milik masyarakat dunia yang nantinya harus diwariskan kepada generasi mendatang melalui prinsip pengelolaan hutan lestari. Secara nyata melalui berbagai institusi dan lembaga swadaya masyarakat hutan tropis Indonesia diklaim sebagai paru-paru dunia yang harus dipertahankan.



Disamping keanekaragaman flora dari berbagai jenis tumbuhan tropis, Indonesia juga sangat kaya akan unsur-unsur fauna. Atas dasar perkembangan paradigma pengelolaan hutan maka pengelolaan hutan di masa mendatang bukan semata-mata hanya berupa hasil hutan tumbuhan berupa kayu. Pengelolaan tersebut juga dilakukan untuk memperoleh manfaat hasil hutan non kayu, termasuk didalamnya adalah berbagai jenis fauna yang hidup dan jasa-jasa lingkungan serta pariwisata. Berbagai upaya telah dilakukan Pemerintah Indonesia terutama dalam penetapan jenis-jenis binatang yang dilindungi undang-undang karena sifat keberadaannya mendekati kepunahan atau keunikan dan kekhasan yang dimilikinya.



Berdasarkan uraian singkat di atas, dapat dikatakan bahwa potensi sumberdaya alam hutan Indonesia sangat besar yang antara lain menyangkut tentang potensi hutan konservasi untuk melindungi flora dan fauna khas Indonesia serta keindahan dan keunikan ekosistem lainnya serta potensi hasil hutan berupa kayu dan non kayu seperti rotan, getah tengkawang, dammar, julutung, gaharu dan lainnya. Berbagai potensi ekonomi hutan ini harus diselaraskan dengan kepentingan lingkungan, sosial dan budaya bagi kesejahteraan dan kemakmuran seluruh lapisan masyarakat Indonesia sesuai amanat undang-undang dasar. Oleh karena itu, pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan tidak harus dipertentangkan satu sama lain. Untuk mencapai hal tersebut maka diperlukan para pelaksana yang memegang teguh prinsip keadilan, sehingga kenyataan yang ada dimana kekayaan sumberdaya melimpah tetapi masyarakatnya masih belum menikmati kesejahteraannya.



Tulisan ini merupakan kumpulan dari berbagi sumber yang mengungkapkan kondisi sumberdaya hutan dan peran rimbawan terutama dalam pengelolaan hutan lestari. Dengan adanya tulisan ini diharapkan dapat diperoleh informasi yang menyeluruh dan lengkap tentang pengelolaan hutan secara lestari di Indonesia.



Sekilas Pengelolaan Hutan di Indonesia



Pengelolaan sumberdaya hutan di Indonesia dilakukan oleh para rimbawan yang karena keprofesiannya berhubungan dengan hutan dan kehutanan. Rimbawan diartikan sebagai kelompok profesi yang bekerja bagi dan untuk mengelola sumberdaya hutan. Berbagai profesi yang termasuk kedalam kategori rimbawan meliputi pemikir, akademisi, pengelola, pelaksana serta pelaku industri dan bisnis, bahkan mereka yang bertindak sebagai pengamat hutan dan kehutanan.



Fattah (2002) mengelompokkan periode pengelolaan hutan di Indonesia menjadi dua kelompok besar yaitu sebelum kemerdekaan dan sesudah kemerdekaan berdasarkan penelusuran dengan beragam dinamika dan gejolak sosial yang melanda Indonesia.



Periode pengelolaan hutan sebelum kemerdekaan dimulai pada masa penjajahan Belanda melalui VOC. Keberadaan sumberdaya hutan dieksploitasi dan diperdagangkan ke negara-negara Eropa bagi kepentingan sosial ekonomi VOC. Pada masa itu, VOC membuat aturan-aturan khusus dalam bentuk Bosch Ordonansi Jawa dan Madura tahun 1928 dan Bosch Verordening Jawa Madura tahun 1936. Melalui aturan-aturan ini dibuat model-model pengelolaan hutan dengan memanfaatkan kemampuan tenaga ahli dari Eropa seperti Bavaria dan Jerman. Pengurasan hasil hutan tanpa rencana yang baik semata-mata hanya untuk kepentingan ekonomi penjajah terus berlangsung hingga periode penjajahan Jepang. Pada saat itu, sumberdaya hutan hanya dieksploitasi hasilnya sebagaimana layaknya barang tambang. Akibat dari kegiatan eksploitasi yang berlebihan ini telah melahirkan suatu kerusakan hutan yang sangat parah.



Setelah masa kemerdekaan Indonesia, praktek pengelolaan hutan mengalami perubahan yang sangat mendasar terutama dalam hal sumberdaya manusianya. Pada awal kemerdekaan, modal sumberdaya manusia kehutanan Indonesia berasal dari tenaga-tenaga menengah kehutanan lulusan Sekolah Kehutanan Menengah Atas (SKMA). Untuk mengatasi kekurangan sumberdaya manusia dengan kompetensi kehutanan pada tahun 1945 didirikan Akademi Kehutanan di Yogyakarta. Institusi pendidikan ini tidak berumur panjang karena serbuan Aksi Militer Belanda. Sebagai gantinya, pemerintah Belanda mendirikan sekolah kehutanan di Bogor dengan nama Hoofdencursus. Setelah penyerahan kedaulatan kepada pemerintah RI, sekolah tersebut berubah menjadi Kursus Kehutanan Lanjutan dan menjadi Akademi Kehutanan.



Suhendang (2004) mengelompokkan periode pengelolaan hutan di Indonesia dalam tiga periode yaitu pra-pengelolaan, pengelolaan berlandaskan prinsip kelestarian hasil, dan pengelolaan berlandaskan prinsip pengelolaan hutan lestari. Periode pra-pengelolaan ditandai dengan adanya eksploitasi sumberdaya hutan secara besar-besaran oleh VOC untuk diperdagangkan di Eropa.



Pengelolaan hutan berlandaskan prinsip kelestarian hasil mendasarkan pada pemikiran bahwa hutan dan manfaatnya merupakan hasil dan proses warisan alam yang harus dikelola dan dilestarikan. Pada awal perkembangan masa ini, pengelolaan hutan lebih ditujukan untuk menghasilkan kayu tanpa memperhatikan fungsi-fungsi lain walaupun fungsi-fungsi lain tersebut tetap dirasakan sebagai akibat adanya hutan. Metode pengelolaan hutan yang berkembang selama periode ini lebih didominasi oleh metode pengaturan hasil untuk hasil hutan kayu pada hutan sejenis dan seumur, hingga muncul konsep hutan normal yang dicetuskan oleh G.L. Hartig tahun 1791. Berdasarkan konsep hutan normal ini kemudian muncul berbagai metode dan formula untuk pengaturan hasil yang dapat menjamin kelestarian hasil. Metode Burn merupakan salah satu metode yang dikembangkan di Indonesia terutama dalam pengelolaan hutan jati di Pulau Jawa setelah kemerdekaan. Metode ini dibuat dengan standar khusus untuk jati menggunakan tabel tegakan jati oleh Wolf von Wulfing yang kemudian dimodifikasi oleh Lembaga Penelitian Kehutanan pada tahun 1975 (Suhendang 2004). Manan (1997) menegaskan bahwa pengelolaan hutan berdasarkan prinsip kelestarian hasil ini mengarahkan pada kontinuitas produksi, sehingga dalam waktu yang cukup awal, dapat diperoleh dan dicapai secara tahunan suatu keseimbangan antara pertumbuhan netto (riap) dan penebangan pemanenan.



Tahapan periode pengelolaan hutan yang terakhir menurut Suhendang (2004) adalah pengelolaan berlandaskan prinsip pengelolaan hutan lestari. Konsep pengelolaan hutan lestari ini secara eksplisit mensyaratkan perlunya diperoleh manfaat untuk fungsi-fungsi ekonomi (produksi), ekologis (lingkungan) dan sosial ekosistem hutan secara optimal dan lestari. Untuk menjamin agar pelaksanaan pengelolaan hutan sesuai dengan prinsip tersebut dikembangkan standar dan baku mutu kinerja pengelolaan hutan yang dinyatakan dalam kriteria dan indikator. Penyusunan kriteria dan indikator pengelolaan hutan telah dirintis oleh ITTO pada tahun 1990. Di Indonesia, prinsip pengelolaan hutan lestari menggunakan standar kriteria dan indikator diterapkan pada pengelolaan hutan alam dan tanaman di luar Pulau Jawa maupun pada hutan tanaman di Pulau Jawa. Modifikasi-modifikasi standar kriteria dan indikator ini dikembangkan oleh Departemen Kehutanan, LEI, CIFOR dan lain-lain.



Pengelolaan hutan di Indonesia tidak hanya terfokus pada hutan-hutan di Pulau Jawa, tetapi juga di pulau-pulau besar lainnya, seperti di Pulau Kalimantan. Menurut Kalteng (2006), sejarah pengelolaan hutan di Kalimantan Tengah telah dimulai sejak lebih dari setengah abad lalu ditandai dengan kegiatan eksploitasi kayu agathis secara sederhana menggunakan sistem panglong/tebang banjir di daerah Sampit dan sekitarnya yang dilaksanakan oleh NV. Bruinzeel. Setelah kemerdekaan, kegiatan eksploitasi dan pengolahannya selanjutnya diambil alih oleh PT. SAMPIT DAYAK dan PN Perhutani. Kegiatan eksploitasi yang dilakukan oleh PT. Sampit Dayak dan PN Perhutani ditujukan untuk diolah sendiri dan mensuplai kebutuhan pabrik kertas yang berada di Martapura.



Kegiatan PN Perhutani mengekploitasi hutan di daerah Sampit tersebut terus berlanjut sampai dengan memasuki era Orde Baru, dan pada dekade tahun 1970 karena tuntutan kebutuhan dan ketentuan, PN Perhutani selanjutnya direstrukturisasi menjadi PT. Inhutani III. Selaras dengan meningkatnya kebutuhan akan sumber daya alam untuk pembangunan, maka memasuki tahun 70-an, kegiatan eksploitasi di Kalimantan Tengah tidak lagi sebatas dilaksanakan oleh PT. Inhutani, tetapi juga telah melibatkan perusahaan swasta lainnya untuk berpartisipasi dalam kegiatan pengusahaan hutan di Kalimantan Tengah dengan terbukanya peluang untuk memperoleh konsesi HPH dalam skala luas.



Era baru bagi pelaksanaan pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya hutan secara besar-besaran dan modern, perkembangannya dimulai dengan ditetapkannya Undang-Undang Pokok Kehutanan No. 5 tahun 1967, Undang-Undang No. 1 tahun 1967 mengenai Penanaman Modal Asing dan Undang-Undang No. 6 tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri. Ketiga undang-undang telah menjadi dasar dan landasan bagi pengelolaan hutan di Kalimantan Tengah khususnya dan Indonesia umumnya, yang ditandai dengan adanya pemanfaatan hutan dalam bentuk HPH dan HPHH, serta berkembangnya industri yang mengolah produk hasil hutan (sawmill, plywood, blackboard, particle board, chipmill, pulpmill dan sebagainya).



Berdasarkan data tersebut di atas terlihat bahwa era baru kegiatan pengusahaan hutan di Kalimantan Tengah dimulai dengan hanya 3 unit HPH pada tahun 1969/1970. Setiap tahunnya data kepemilikan HPH selalu bertambah dan mencapai puncaknya pada tahun 1989/1990 dengan jumlah 117 HPH yang mencakup areal seluas 11.862.500 Ha, dan selanjutnya sejak saat itu mulai menyusut hingga pada tahun 2000 hanya berjumlah 53 unit saja dengan cakupan areal 4.790.522 Ha. Menyusutnya kepemilikan HPH tersebut diantaranya kerena pengelolaanya dianggap gagal melakukan pengelolaan hutan yang berazaskan kelestarian, sehingga pengelolaanya dikembalikan ke negara (Kalteng 2006).

Sistem Silvikultur

Pengelolaan hutan berlandaskan prinsip-prinsip kelestarian yang telah disebutkan sebelumnya tidak terlepas dari adanya konsepsi sistem silvikultur. Secara harfiah, sistem silvikultur merupakan serangkaian prosedur yang mencakup cara-cara permudaan, pemeliharaan, dan pemanenan tegakan atau hutan untuk menghasilkan produk tertentu (Manan 1997). Sesuai dengan Keputusan Dirjen Kehutanan No. 35/1972, di Indonesia diterapkan 3 macam sistem sivikultur yaitu Tebang Pilih Indonesia (TPI), Tebang Habis dengan Permudaan Alam (THPA) dan Tebang Habis dengan Permudaan Buatan (THPB). Dalam perkembangannya, pada tahun 1989 TPI diubah oleh Direktur Jenderal Pengusahaan Hutan Departemen Kehutanan menjadi Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI).

Sistem silvikultur TPI/TPTI menghendaki adanya penebangan secara selektif pada suatu tegakan hutan, dalam hal limit diameter maupun jenis pohonnya. Hal ini berbeda dengan sistem tebang habis, baik dengan permudaan alam maupun buatan. Pada sistem tebang habis, batasan limit diameter dan jenis yang ditebang diabaikan karena semua pohon yang ada dalam suatu tegakan hutan diambil tanpa terkecuali. Dari dua kategori besar sistem silvikultur tebang pilih dan tebang habis ini terdapat keuntungan dan kerugian masing-masing seperti disebutkan oleh Manan (1997) sebagai berikut :

Sistem Silvikultur Tebang Pilih

Keuntungan Kerugian
§ Perlindungan terhadap tempat tumbuh dan permudaan§ Terjadi penutupan tajuk vertikal§ Perlindungan terhadap hama dan penyakit§ Perlindungan terhadap bahaya kebakaran§ Secara estetika lebih baik

§ Permudaan alam jenis toleran dipermudah

§ Penyesuaian dengan situasi pasaran kayu

§ Tegakan tidak seumur campuran lebih baik bagi habitat satwa

§ Menjamin kelestarian produksi pada kawasan kecil

§ Penjarangan dapat dilakukan simultan dengan pemanenan

§ Unit cost permudaan per hektar lebih murah
§ Produksi kecil, tetapi areal penebangan luas, sehingga pengangkutan mahal§ Kerusakan akibat pembalakan terhadap tegakan sisa/tinggal§ Memusnahkan sumber plasma nutfah/genatika yang baik§ Bentuk pohon kurang baik, karena ruang tumbuh luas pada umur tua§ Permudaan jenis toleran lebih banyak dibanding jenis intoleran

§ Tertutup terhadap penggembalaan ternak

§ Memerlukan kecakapan profesional tinggi dari pelaksana

§ Kurang menyerap tenaga kerja dalam operasinya

§ Permudaan lebih sulit diatur, misalnya luas celah/gap, demikian juga tindakan pemeliharaan/pembebasan

Sistem Silvikultur Tebang Habis

Keuntungan Kerugian
§ Operasi pembalakan terkonsentrasi di areal kecil, volume kayu besar, alat berat tidak banyak berpindah, sehingga lebih murah biayanya§ Kerusakan akibat pembalakan terhadap tegakan muda dapat dicegah§ Kerusakan pohon akibat tumbang oleh angin dihindari§ Tanaman baru terdiri dari jenis intoleran, bebas persaingan dengan tegakan tua§ Metode sederhana, praktis dan mudah

§ Tegakan seumur, murni dan teratur, tumbuh cepat

§ Pelaksanaan dengan tumpangsari, meningkatkan pendapatan masyarakat sekitar hutan
§ Memusnahkan penutup tanah, iklim mikro berubah, lahan terbuka gulma tumbuh meluas, sifat fisik tanah rusak dan menjadi padat/kompak akibat penyaradan§ Perlindungan terhadap erosi berkurang, tanah mudah longsor terutama pada lahan miring§ Secara estetika kurang baik pemandangannya§ Bahaya kebakaran meningkat, karena angin dan panas terik§ Tidak semua jenis dan ukuran pohon laku dijual, terutama pohon diameter kecil

§ Hutan baru yang seumur dan murna kurang resisten terhadap penyakit, hama dan kebakaran

§ Terbentuk humus yang susunannya didominasi oleh unsur tertentu

§ Penyulaman tanaman gagal memerlukan pasokan benih dan persemaian

§ Unit cost penanaman per hektar lebih mahal


Sistem silvikultur dapat dibedakan atas sistem polycyclic dan monocyclic, yaitu jumlah penebangan (siklus tebang) yang lebih dari satu kali selama satu rotasi dan siklus tebang hanya satu kal dalam satu rotasi. Di Indonesia, sistem silvikultur TPTI/TPI menggunakan 2 kali siklus tebang selama rotasi 70 tahun (polycyclic) sedangkan sistem THPA dan THPB menggunakan sistem monocyclic.

Sistem silvikultur lain yang dikembangkan adalah sistem tebang jalur pada tahun 1993 melalui Keputusan Direktur Jenderal Pengusahaan Hutan No. 40/Kpts/IV-BPHH/1993 sebagai alternatif/modifikasi dari sistem TPTI. Sasaran lokasi dari sistem silvikultur TJTI adalah hutan bekas tebangan TPTI yang kondisinya telah rusak, rawan terhadap perambahan, tidak cocok untuk sistem THPB dan hutan primer.



Pada tahun 2004 di Indonesia mulai diujicobakan Sistem Silvikultur Insentif pada 17 perusahaan pemegang IUPHHK-HA (HPH) di wilayah Sumatera, Kalimantan, Maluku dan Papua melalui Surat Keputusan Dirjen Bina Produksi Kehutanan No. 194/VI-BPHA/2004 tanggal 20 Juli 2004. Uji coba ini dimaksudkan untuk mendorong tercapainya kondisi hutan yang mampu berfungsi secara optimal, produktif, berdaya saing, dan dikelola secara efektif dan efisien sehingga terwujud kelestarian hutan yang dinamis sesuai dengan karakteristik setiap lokasi. Untuk menunjang keberhasilan uji coba silvikultur intensif oleh pemegang izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan alam difasilitasi oleh sebuah tim pakar di bidang sistem silvikultur yang terdiri dari unsur pemerintah maupun perguruan tinggi.

Sistem Pembiayaan Pengelolaan Hutan

Berdasarkan sekelumit sejarah pengelolaan hutan di Indonesia dan penerapan sistem silvikulturnya terlihat bahwa peran subyek pelaksana pengelolaan hutan yang sangat vital. Oleh karenanya perlu perhatian yang besar terhadap kompetensi pengelola tersebut agar tidak terjadi salah dalam pengurusan hutan, tentunya dengan tidak mengabaikan faktor-faktor lain yang juga berperan seperti komponen pembiayaan. Dukungan dari sistem pembiayaan yang tepat, akurat dan efisien tidak mustahil akan dapat menyelamatkan kondisi hutan Indonesia. Sesuai dengan UU No. 41/1999 tentang Kehutanan dinyatakan bahwa dalam pengelolaan hutan secara lestari diperlukan lembaga keuangan sebagi penunjang. Sumber dana yang dipungut dari hutan berupa: Iuran Izin Usaha, Provisi SDH, Dana Reboisasi, Dana Jaminan Kerja dan Dana Investasi. Dana Reboisasi sesuai dengan KEPPRES No. 31/1989 dan Dana Investasi yang disebut dalam UU No. 41/1999 jelas peruntukannya adalah untuk: reboisasi, rehabilitasi dalam rangka menjamin kelestarian hutan. Sistem pendanaan bagi pembangunan kehutanan yang berasal dari Dana Reboisasi saat ini amat lemah, yang terlihat dari hal-hal sebagai berikut (Haeruman 2005):



1. Departemen (Kehutanan dan Keuangan) berfungsi sebagai bank (executing dalam proses kredit dan memungut bunga) dan tidak efisien.



2. Proses administrasi sangat birokratis, berpola DIP dan tidak sesuai dengan kondisi faktual di lapangan, terutama kaitannya dengan musim tanam.



3. Kelanjutan dan konsistensi kebijakan pendanaan berubah-ubah, tidak memberikan kepastian usaha sektor kehutanan yang berjangka panjang.



4. Kemitraan dengan BUMN yang disyaratkan dalam penggunaan DR, berperan serba salah, sebagai Pemegang Saham dan Penilai.



5. Pinjaman DR bunga 0% dianggap subsidi berlebihan dan memicu penyalahgunaan (moral hazard) oleh BUMS pelaksana pembangunan hutan, serta rendahnya akuntabilitas.



6. Bank umum saat ini hanya bisa bertindak sebagai channeling dan mendapat provisi serta handling fee, tanpa resiko sehingga kurang tanggung jawab.



7. Kredit hutan rakyat berpotensi macet, sehingga menyulitkan Bank apabila harus menjadi executing.



8. Sistem pendanaan melalui sistem administrasi keuangan negara (APBN) yang rigid dan berbeda kulturnya, menyebabkan kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan terhenti, kalaupun ada sangat tidak nyata atau bahkan dana DR tersebut dipergunakan tidak untuk membangun hutan, misalnya kegiatan penunjang sehingga DR tidak kembali ke hutan.



9. Rehabilitasi hutan dan lahan melalui Dana Alokasi Khusus-DR dan GERHAN tidak membangun terobosan baru dalam sistem pendanaannya (yang bersifat keproyekan setiap tahun – DIP), sehingga keberhasilannya mulai diragukan.



Meskipun demikian, Dana Reboisasi yang secara teori dikhususkan untuk membangun hutan dan meningkatkan upaya rehabilitasi hutan rusak masih tetap diperlukan sebagai usaha negara menyediakan dana yang khusus diperuntukan bagi pembangunan hutan. Agar dana tersebut dapat menjadi modal dasar untuk membangun kehutanan perlu adanya sistem pembiayaan pembangunan kehutanan yang memahami karakter pembangunan kehutanan yang berjangka panjang, berasetkan tegakan dan kawasan, dan sumber alam yang terbuka dengan keanekaragaman yang tinggi (Haeruman 2005).

Nampak sampai sekarang belum ada sistem pembiayaan yang memadai untuk pembangunan kehutanan yang dapat menjangkau karakter pembangunan kehutanan tersebut. Oleh karena itu pengembangan lembaga keuangan kehutanan alternatif (LKHA) untuk pembangunan kehutanan perlu segera dibentuk. Bentuk lembaga keuangan kehutanan alternatif ini telah berkembang di banyak negara di dunia, bahkan lembaga PBB telah pula membentuk suatu bentuk yang disebut United Nation Forest Fund (UNFF), dalam pembangunan lingkungan juga dikenal adanya Global Environment Facility (GEF). Di lingkungan masyarakat pemerhati lingkungan juga sudah ada bentuk seperti Dana Mitra Lingkungan (Haeruman 2005).



Pemikiran pembentukan Lembaga Keuangan Hutan Alternatif (LKHA) bagi Pembangunan Hutan Lestari didasarkan pada keperluan untuk :



1. Mengelola Dana Reboisasi dengan cara yang lebih sesuai dengan budaya kehutanannya sehingga dapat menggerakan mobilisasi rehabilitasi lahan dan hutan.



2. Mencari, menampung dan mengelola dana murah yang berasal dari masyarakat/lembaga internasional yang berkaitan dengan lingkungan (perubahan iklim global dan keanekaragaman hayati) yang potensinya besar tetapi belum termanfaatkan oleh Indonesia.



3. Mendukung penyelenggaraan Pembangunan Hutan Lestari yang merakyat untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan serta berwawasan lingkungan, melalui mekanisme pembiayaan yang sesuai termasuk pembayaran jasa lingkungan (Payments for Environmental Services-PES).



4. Mendukung pembiayaan investasi yang dilakukan oleh para pelaku bisnis, baik BUMN maupun BUMS, Koperasi dan Masyarakat, dalam rangka pembangunan hutan.



5. Membantu mendanai kegiatan penunjang seperti litbang, diklat dan penyuluhan yang terkait langsung dengan pembangunan hutan, dengan menyisihkan sebagian pendapatannya, utamanya untuk penelitian berjangka panjang.



6. Mengambil alih fungsi executing dalam pendanaan yang selama ini berada ditangan pemerintah (Departeman Kehutanan dan Departemen Keuangan). Sehingga, pelayanan pemerintah kepada dunia usaha/bisnis dapat dilakukan secara bisnis oleh lembaga bisnis (LKHA) yang profesional dan independen.



7. Turut serta menggerakan perekonomian di pedesaan, karena hutan yang akan di bangun terletak di pedesaan.



8. Turut serta meningkatkan produktivitas lahan dan hutan sehingga mampu menghasilkan produksi kayu dan non kayu serta jasa lingkungan hutan yang lestari dan mampu mengembangkan alternatif usaha pada masyarakat, mengembangkan industri baru maupun ekspor (dengan bahan baku dari hutan tanaman).



9. Pembentukan LKHA ini akan menjadi bagian penting dari Program Kehutanan Nasional (PKN/NFP).

Rimbawan dan Perspektif Masa Depan Kehutanan Indonesia

Untuk dapat melakukan pengelolaan hutan dengan tepat diperlukan peran serta rimbawan yang mampu menggerakan potensi kehutanan bagi kegiatan pembangunan. Beberapa masalah yang muncul dalam pengelolaan hutan di Indonesia pada masa sekarang, tidak terlepas dari bagaimana sistem pengelolaan hutan yang telah dilaksanakan sebelumnya. Sebagian besar negara di belahan dunia ini pun tidak luput dari masalah dalam pengelolaan hutan di negaranya.



Berdasarkan hasil kesimpulan kajian studi di enam negara oleh HAF-IPB (2006) terlihat beberapa kelemahan-kelemahan yang dimiliki para rimbawan termasuk juga kerangka pemikirannya terhadap suatu permasalahan sebagai berikut :



1. Diperlukan suatu kondisi dimana rimbawan membuka diri dan bekerjasama dengan kelompok lain, agar dapat mengubah kebijakan dan mampu menggeser keseimbangan kekuasaan sebagai penyebab terjadinya masalah.



2. Rencana dan program-program teknik semata jarang sekali mampu memberikan pencerahan dan pembentukan kebijakan yang efektif.



3. Banyak kebijakan yang menjanjikan dicirikan oleh penglihatannya yang jauh dari sekedar melakukan pengelolaan hutan melainkan dengan sekaligus menentukan bentuk proses pelaksanaan dan institusi yang mendukungnya.



4. Perkembangan positip hanya dapat dilakukan apabila organisasi-organisasi rimbawan bersedia melakukan eksperimen dan belajar dari kegagalan atau keberhasilan yang diperolehnya.



5. Implementasi kebijakan yang didasarkan pada pertemuan-pertemuan reguler antar perwakilan stakeholders dapat menjadi penggerak terjadinya perubahan kearah hal-hal yang positif.



6. Proses negosiasi yang produktif dapat dihasilkan apabila kelompok-kelompok masyarakat setempat mendapat dukungan legalitas, pendanaan, dan informasi sehingga mereka dapat melakukan partisipasi secara penuh.



7. Untuk maju ke depan, setiap rimbawan harus mempunyai visi yang dapat memotivasinya untuk selalu melakukan pembaharuan-pembaharuan yang positip. Individu-individu rimbawan yang dinamis yang mempunyai komitmen untuk melakukan perubahan terbukti sering dapat mengatasi masalah institusi yang dihadapinya.



Peran serta rimbawan dalam perspektif pengelolaan sumberdaya hutan tidak terlepas dari sistem nilai yang dianut serta budaya kerjanya. Menurut Haeruman (2005), budaya kerja yang dimiliki rimbawan diharapkan dapat membentuk etika kerja dalam pembangunan kehutanan yang amat penting. Kaidah dasar budaya yang perlu didukung untuk membentuk etika kerja dalam paradigma pengelalaan hutan lestari adalah:



1. Memberikan perhatian utama pada tatanilai masyarakat (negara, bangsa) yang menjadi subjek dan bukan hanya pada kepentingan para pengelola hutan.



2. Memberikan perhatian penuh dan lebih besar kepada kepentingan hutan lestari dan masyarakat yang terkait dibandingkan dengan kepentingan organisasi.



3. Memberikan perhatian utama kepada kinerja organisasi yang optimal bukan kepada hasil akhir yang maksimal.



4. Memberikan perhatian utama pada proses dan sistem yang menghasilkan dan bukan kepada hasil akhirnya.



5. Mementingkan percobaan dan pengkajian untuk meningkatkan pengetahuan dan teknologi dan membuka diri kepada informasi baru.



6. Menerima kekeliruan yang memberi jalan kepada pembelajaran dan perbaikan organisasi.



7. Mementingkan penyempurnaan yang terus menerus dibandingkan dengan status quo.



8. Perbaikan kinerja berasal dari penyempurnaan proses dan sistem, bukan hanya dari memperbaiki orang.



9. Perbaikan terus menerus diharapkan berlangsung di semua unit kerja di berbagai tingkat pengelolan hutan lestari.



10. Untuk memperbaiki proses dan sistem kerja para manajer harus mampu menemukan akar permasalahannya.

Daftar Pustaka

Fattah DS, A. 2002. Rimbawan Amanah. Revitalisasi Landasan Idiil Pengelolaan Sumberdaya Hutan Secara Lestari dan Berkeadilan. Debut Press. Yogyakarta.



Haeruman Js, H. 2005. Paradigma Pengelolaan untuk Menyelamatkan Hutan Indonesia : Membangun Etika Pengelolaan Hutan Lestari. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.



Himpunan Alumni Fakultas Kehutanan IPB. 2006. Refleksi Kerangka Pikir Rimbawan. Menguak Masalah Institusi dan Politik Pengelolaan Sumberdaya Hutan.



Kalimantan Tengah. 2006. Kondisi Hutan Provinsi Kalimantan Tengah http://www.kalteng.go.id/indo/kehutanan_kondisi.htm (22 Des 2006).



Manan, S. 1997. Hutan, Rimbawan dan Masyarakat. IPB Press. Bogor.



Suhendang, E. 2004. Kemelut dalam Pengurusan Hutan. Sejarah Panjang Kesenjangan antara Konsepsi dan Kenyataan. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.

Selasa, 01 Juni 2010

PERLINDUNGAN HUTAN DAN KONSERVASI ALAM

Tugas pokok dan fungsi Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam adalah merumuskan dan melaksanakan kebijakan dibidang perlindungan hutan, penanggulangan kebakaran hutan, konservasi kawasan dan keanekaragaman hayati, serta wisata alam dan pemanfaatan jasa lingkungan.

Perlindungan hutan meliputi pengamanan hutan, pengamanan tumbuhan dan satwa liar, pengelolaan tenaga dan sarana perlindungan hutan dan penyidikan.

Perlindungan Hutan diselenggarakan dengan tujuan untuk menjaga hutan, kawasan hutan dan lingkungannya, agar fungsi lindung, fungsi konservasi dan fungsi produksi dapat tercapai secara optimal dan lestari. Perlindungan hutan ini merupakan usaha untuk :

Mencegah dan membatasi kerusakan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan yang disebabkan oleh perbuatan manusia, ternak, kebakaran, bencana alam, hama serta penyakit.

Mempertahankan dan menjaga hak-hak negara, masyarakat dan perorangan atas hutan, kawasan hutan, hasil hutan, investasi serta perangkat yang berhubungan dengan pengelolaan hutan.

Penanggulangan kebakaran hutan meliputi pengembangan sistem penanggulangan kebakaran, deteksi dan evaluasi kebakaran, pencegahan dan pemadaman kebakaran, dan dampak kebakaran.

Konservasi kawasan dan keanekaragaman hayati meliputi pengelolaan dan pendayagunaan kawasan konservasi serta pemberdayaan masyarakat sekitar taman nasional, taman wisata, taman hutan raya, kawasan suaka alam, hutan lindung dan taman buru.

Konservasi keanekaragaman hayati meliputi konservasi jenis dan genetik, konservasi ekosistem esensial, pengembangan lembaga konservasi, penangkaran tumbuhan dan satwa liar, tertib peredaran tumbuhan dan satwa liar.

HUTAN KONSERVASI

Hutan Konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya.

Hutan konservasi terdiri dari :

Kawasan hutan Suaka Alam (KSA) berupa Cagar Alam (CA) dan Suaka Margasatwa (SM);

Kawasan hutan Pelestarian Alam (KPA) berupa Taman Nasional (TN), Taman Hutan Raya (TAHURA) dan Taman Wisata Alam (TWA); dan

Taman Buru (TB).

Kawasan hutan Suaka Alam (KSA) adalah hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya, yang juga berfungsi sebagai wilayah sistem penyangga kehidupan.

Kawasan hutan Pelestarian Alam (KPA) adalah hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya

Masing-masing bagian dari KSA dan KPA dijelaskan lebih lanjut sebagai berikut :

CAGAR ALAM (CA) adalah kawasan suaka alam yang mempunyai ciri kekhasan tumbuhan, satwa dan ekosistemnya atau ekosistem tertentu yang perlu dilindungi untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan kebudayaan dan perkembangannya berlangsung secara alami.

SUAKA MARGASATWA (SM) adalah kawasan suaka alam yang mempunyai ciri khas berupa keanekaragaman dn atau keunikan jenis satwa bagi ilmu pengetahuan dan kebudayaan dan kebanggaan nasional yang untuk kelangsungan hidupnya dapat dilakukan pembinaan terhadap habitatnya.

TAMAN NASIONAL (TN) adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk keperluan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, penunjang budidaya tumbuhan dan atau satwa, pariwisata dan rekreasi. Pengelolaan Kawasan Taman Nasional dilakukan oleh Pemerintah.

TAMAN HUTAN RAYA (TAHURA) adalah kawasan pelestarian alam untuk tujuan koleksi tumbuhan dan atau satwa yang alami atau bukan alami, jenis asli atau bukan jenis asli yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, penunjang budidaya tumbuhan dan atau satwa, budaya, pariwisata dan rekreasi. Pengelolaan Kawasan Taman Hutan Raya dilakukan oleh Pemerintah.

TAMAN WISATA ALAM (TWA) adalah kawasan pelestarian alam dengan tujuan utama untuk dimanfaatkan bagi kepentingan pariwisata dan rekreasi alam. Pengelolaan Kawasan Taman Wisaha Alam dilakukan oleh Pemerintah.

TAMAN BURU (TB) adalah kawasan hutan yang di tetapkan sebagai tempat wisata berburu.

Sampai dengan tahun 2002, komposisi hutan konservasi di seluruh Indonesia yang ada di daratan dan laut diuraikan pada Tabel-5 di bawah ini :

Tabel-5. Komposisi Hutan Konservasi di Seluruh Indonesia Sampi Dengan Tahun 2002

Jenis Hutan Konservasi
Konservasi Darat
Konservasi Laut


Unit
Luas
Unit
Luas

Cagar Alam
169
2.683.898
8
211.555

Suaka Margasatwa
52
3.526.343
3
65.220

Taman Wisata
84
282.086
18
765.762

Taman Buru
14
225.993
-
-

Taman Nasional
35
11.291.754
6
3.680.936

Taman Hutan Rakyat
17
334.336
-
-







Total
371
18.344.410
35
4.723.474


EKSPOR SATWA DAN TUMBUHAN

Perdagangan ke luar negeri/ ekspor satwa dan tumbuhan liar dari alam serta hasil penangkaran seperti ikan arwana dan buaya telah menghasilkan penerimaan negara yang cukup besar. Selama tahun 2002 perkiraan penerimaan negara dari ekspor tumbuhan dan satwa liar mencapai 2,12 juta US $, terbesar dihasilkan dari ekspor ikan arwana yang mencapai 1,32 juta US $.

KEBAKARAN HUTAN

Luas kebakaran hutan berdasarkan laporan yang masuk ke Ditjen PHKA dari daerah (Unit Pelaksana Teknis) selama tahun 2002 untuk seluruh kawasan hutan di Indonesia seluas 35.497 Ha. Berdasarkan fungsinya kejadian kebakaran hutan terluas terjadi di areal hutan produksi dan taman nasional, masing-masing seluas 15.397 Ha dan 15.752 Ha. Data tersebut hanya berdasarkan laporan yang terekam oleh UPT Departemen Kehutanan di daerah.

Meredam Pemanasan Global

Aktifitas Mahasiswa dalam usaha meredam pemanasan global tiada hentinya dilakukan, dalam sela sela kesibukan dibangku kuliah, atau saat liburan panjang kegiatan posistif yang dilakukan memberikan sumbangan manfaat yang besar bagi lingkungan. Pengaruh nyata sedikit memang, tapi sebagai upaya peduli terhaap lingkungan mendapatkan apresiasi yang besar, dan langkah langkah yang dilakukan perlu mendapatkan dukungan moril dan finansial yang cukup. Pemberitaan tersebut perlu di sebarluaskan ke seantero nusantara agar lebih menggugah pemuda pemudi untuk menjadi pelopor peduli lingkungan yang nyaman dan asri.
Lembaga Pemuda Peduli lingkungan Global selayaknya perlu di dirikan yang anggotanya adalah komponen pemuda seluruh nusantara, dengan kegiatan khusus untuk perbaikan lingkungan dan pengawasan pembalakan liar atau perusak lingkungan.
Siapa mau peduli dengan lingkungan kita sendiri jika tidak kita sendiri ?