Jumat, 24 Juli 2009

Penghutanan Kembali kawasan Puncak Muria dan Patiayam

Mungkinkah ? ini menjadi pertanyaan yang pertama kali masuk dibenak kita, Siapa yang peduli dengan lingkungan disekitar puncak Muria dan Patiayam ? semuanya terdiam tidak ada yang menjawab, dan tangan mereka saling menunjuk. dan semua hanya berpikir "itu sudah ada yang ngurusi" siapa yang ngurusi ?... Gusti Allah... hmm.. enak aja,
Kawasan puncak Muria dan Patiayam secara keseluruhan adalah penyangga terhadap keberadaan air tanah dilingkungan Karesidenan Pati khususnya daerah Jepara, Kudus, dan Pati. sehingga perbukitan di kawasan tersebut haruslah selalu dijaga keberadaan hutannya.
Dalam pelaksanaan penghutanan kembali kawasan tersebut memang tidak bisa terlepas dari peranan warga sekitar, kemudian dukungan dari masyarakat seluruh eks Karesidenan Pati dan yang tidak kalah penting adalah peranan Pemda sebagai regulator dari pelaksanaan penghutanan kembali.
Bagaimana memulainya ? canagkan / kampanyekan gerakan penghutanan kembali kawasan puncak muria sejak sekarang dan sebarkan ke seluruh komponen warga tidak boleh ada yang ketinggalan.
Action setiap awal musim penghujan tanam pohon hutan , melalui aksi penghutanan kembali puncak Muria yang melibatkan seluruh komponen warga, dengan kemasan Pariwisata misalnya, ini akan lebih menarik minat warga sekitar bahkan mungkin turis luar kota
Bahan penghutanan adalah bibit yang telah dipersiapkan oleh perusahaan2 di lokasi karesidenan Pati juga, ini tugas dari pemda sebagai syarat CSR bagi perusahaan yang berada diwilayah ini
Tenaga Ahlinya sudah barang tentu tim Academisi dari perguruan tinggi setempat yang menjadi think tank nya
Penghutanan kembali harus dimulai dengan tindakan nyata dan harus ada yang peduli dan semua harus peduli untuk menuju lingkungan yang terjaga kelestariannya

Rabu, 15 Juli 2009

Biodiesel (pengganti solar)

Biodiesel



Diupload Oleh Administrator
Monday, 20 August 2007
Indeks Artikel
Biodiesel
Halaman 2
Halaman 1 dari 2
Biodiesel adalah bahan bakar motor diesel yang berupa ester alkil/alkil asam-asam lemak (biasanya ester metil) yang dibuat dari minyak nabati melalui proses trans atau esterifikasi. stilah biodiesel identik dengan bahan bakar murni. Campuran biodiesel (BXX) adalah biodiesel sebanyak XX`% yang telah dicampur dengan solar sejumlah 1-XX %
Latar Belakang Kebutuhan Biodiesel di Indonesia:
Bahan bakar mesin diesel yang berupa ester metil/etil asam-asam lemak. Dibuat dari minyak-lemak nabati dengan proses metanolisis/etanolisis. Produk-ikutan: gliserin. Atau dari asam lemak (bebas) dengan proses esterifi-kasi dgn metanol/etanol. Produk-ikutan : air Kompatibel dengan solar, berdaya lumas lebih baik. Berkadar belerang hampir nihil,umumnya < 15 ppm. BXX = camp. XX %-vol biodiesel dengan (100 – XX) %-vol solar. Contoh: B5, B20, B100. Sudah efektif memperbaiki kualitas emisi kendaraan diesel pada level B2 !.
Keuntungan Pemakaian Biodiesel
Dihasilkan dari sumber daya energi terbarukan dan ketersediaan bahan bakunya terjamin
Cetane number tinggi (bilangan yang menunjukkan ukuran baik tidaknya kualitas solar berdasar sifat kecepatan bakar dalam ruang bakar mesin)
Viskositas tinggi sehingga mempunyai sifat pelumasan yang lebih baik daripada solar sehingga memperpanjang umur pakai mesin
Dapat diproduksi secara lokal
Mempunyai kandungan sulfur yang rendah
Menurunkan tingkat opasiti asap
Menurunkan emisi gas buang
Pencampuran biodiesel dengan petroleum diesel dapat meningkatkan biodegradibility petroleum diesel sampai 500 %
Bahan Baku Biodiesel
Minyak nabati sebagai sumber utama biodiesel dapat dipenuhi oleh berbagai macam jenis tumbuhan tergantung pada sumberdaya utama yang banyak terdapat di suatu tempat/negara. Indonesia mempunyai banyak sumber daya untuk bahan baku biodiesel.
Beberapa sumber minyak nabati yang potensial sebagai bahan baku Biodiesel.
Nama Lokal
Nama Latin
Sumber Minyak
Isi% Berat Kering
P / NP
Jarak Pagar
Jatropha Curcas
Inti biji
40-60
NP
Jarak Kaliki
Riccinus Communis
Biji
45-50
NP
Kacang Suuk
Arachis Hypogea
Biji
35-55
P
Kapok / Randu
Ceiba Pantandra
Biji
24-40
NP
Karet
Hevea Brasiliensis
Biji
40-50
P
Kecipir
Psophocarpus Tetrag
Biji
15-20
P
Kelapa
Cocos Nucifera
Inti biji
60-70
P
Kelor
Moringa Oleifera
Biji
30-49
P
Kemiri
Aleurites Moluccana
Inti biji
57-69
NP
Kusambi
Sleichera Trijuga
Sabut
55-70
NP
Nimba
Azadiruchta Indica
Inti biji
40-50
NP
Saga Utan
Adenanthera Pavonina
Inti biji
14-28
P
Sawit
Elais Suincencis
Sabut dan biji
45-70 + 46-54
P
Nyamplung
Callophyllum Lanceatum
Inti biji
40-73
P
Randu Alas
Bombax Malabaricum
Biji
18-26
NP
Sirsak
Annona Muricata
Inti biji
20-30
NP
Srikaya
Annona Squosa
Biji
15-20
NP
Spesifikasi Biodiesel sesuai SNI 04-7182-2006:
No
Parameter
Satuan
Nilai
1
Massa jenis pada 40 0C
kg/m3
850-890
2
Viskositas kinematik pada 40 0C
mm2/s(cst)
2.3-60
3
Angka setana

Min 51
4
Titik nyala (mangkok tertutup)
0c
Min 100
5
Titik kabut
0c
Maks 18
6
Korosi lempeng tembaga (3 jam pada 50 0C)

Maks no 3
7
Residu karbonDalam contoh asliDalam 10% ampas distilasi

Maks 0.05Maks 0.30
8
Air dan sedimen
% vol
Maks 0.5*
9
Temperatur destilasi 90%
0c
Maks 360
10
Abu tersulfatkan
% massa
Maks 0.02
11
Belerang
ppm-m (mg/kg)
Maks 100
12
Fosfor
ppm-m (mg/kg)
Maks 10
13
Angka asam
mg-KOH/g
Maks 0.8
14
Gliserol bebas
% massa
Maks 0.02
15
Gliserol total
% massa
Maks 0.24
16
Kadar ester alkil
% massa
Maks 96.5
17
Angka iodium
% massa 9g-I2/100 g)
Maks 115
18
Uji Helphen

Negatif
catatan: *dapat diuji terpisah dengan ketentuan kandungan sedimen maksimum 0.01% vol
Spesifikasi solar sesuai SK Dirjen Migas No.. 3675K/24/DJM/2006:
No
Karakteristik
Unit
Super
Reguler
1
Berat jenis pada suhu 15 0C
kg/m3
820-860
815-870
2
Viskositas kinematik pada suhu 40 0C
mm2/s
2.0-4.5
2.0-5.0
3
Angka setana / indeks

≥51/48
≥48-45
4
Titik nyala 40 0C
0C
≥55
≥60
5
Titik tuang
0C
≤18
≤18
6
Korosi lempeng tembaga (3 jam pada 50 0C)

≤kelas 1
≤kelas 1
7
Residu karbon
% massa
≤0.30
≤30
8
Kandungan air
mg/kg
≤500
≤50
9
T90/95
0C
≤340/360
<370
10
Stabilitas oksidasi
g/m3
≤25
-
11
Sulfur
%m/m
≤0.05
≤0.35
12
Bilangan asam total
mg-KOH/g
≤0.3
≤0.6
13
Kandungan abu
%m/m
≤0.01
≤0.01
14
Kandungan sedimen
>%m/m
≤0.01
≤0.01
15
Kandungan FAME
%m/m
≤10
≤10
16
Kandungan metanol dan etanol
%v/v
Tak terditeksi
Tak terditeksi
17
Partikulat
mg/l
≤10
-
*) SK Dirjen Migas No. 3675/24/DJM/2006 memperbolehkan penambahan bioetanol sampai dengan 10% (v/v)

Energi Alternatif

Pelaksanaan Elektrikalmekanikal



Diupload Oleh Administrator
Monday, 20 August 2007
1. Pemilihan Turbin
Turbin air berperan untuk mengubah energi air (energi potensial, tekanan dan energi kinetik) menjadi energi mekanik dalam bentuk putaran poros. Putaran poros turbin ini akan diubah oleh generator menjadi tenaga listrik. Berdasarkan prinsip kerjanya , turbin air dibagi menjadi dua kelompok:
v Turbin impuls (cross-flow, pelton & turgo)
untuk jenis ini, tekanan pada setiap sisi sudu geraknya lrunnernya - bagian turbin yang berputar - sama.
v Turbin reaksi ( francis, kaplanlpropeller)
Daerah aplikasi berbagai jenis turbin air relatif spesifik. Pada beberapa daerah operasi memungkinkan digunakan beberapa jenis turbin. Pemilihan jenis turbin pada daerah operasi yang overlaping ini memerlukan perhitungan yang lebih mendalam. Pada dasarnya daerah kerja operasi turbin menurut Keller2 dikelompokkan menjadi:
Low head powerplant: dengan tinggi jatuhan air (head) :S 10 M3
Medium head power plant:: dengan tinggi jatuhan antara low head dan high-head High head power plant: dengan tinggi jatuhan air yang memenuhi persamaan
H ≥ 100 (Q)0-113
dimana, H =head, m Q = desain debit, m 31s
Secara umum hasil survey lapangan mendapatkan potensi pengembangan PLTMH dengan tinggi jatuhan (head) 6 - 60 m, yang dapat dikattegoirikan pada head rendah dan medium.
Tabel Daerah Operasi Turbin
Jenis Turbin
Variasi Head, m
Kaplan dan Propeller
2 < H < 20
Francis
10 < H < 350
Peiton
50 < H < 1000
Crossfiow
6 < H < 100
Turgo
50 < H < 250
2. Kriteria Pemilihan Jenis Turbin
Pemilihan jenis turbin dapat ditentukan berdasarkan kelebihan dan kekurangan dari jenis-jenis turbin, khususnya untuk suatu desain yang sangat spesifik. Pada tahap awal, pemilihan jenis turbin dapat diperhitungkan dengan mempertimbangkan parameter-parameter khusus yang mempengaruhi sistem operasi turbin, yaitu :
v Faktor tinggi jatuhan air efektif (Net Head) dan debit yang akan dimanfaatkan untuk operasi turbin merupakan faktor utama yang mempengaruhi pemilihan jenis turbin, sebagai contoh : turbin pelton efektif untuk operasi pada head tinggi, sementara turbin propeller sangat efektif beroperasi pada head rendah.
v Faktor daya (power) yang diinginkan berkaitan dengan head dan debit yang tersedia.
v Kecepatan (putaran) turbin ang akan ditransmisikan ke generator. Sebagai contoh untuk sistem transmisi direct couple antara generator dengan turbin pada head rendah, sebuah turbin reaksi (propeller) dapat mencapai putaran yang diinginkan, sementara turbin pelton dan crossflow berputar sangat lambat (low speed) yang akan menyebabkan sistem tidak beroperasi.
Ketiga faktor di atas seringkali diekspresikan sebagai "kecepatan spesifik, Ns", yang didefinisikan dengan formula:
Ns = N x P0.51W .21
dimana :
N = kecepatan putaran turbin, rpm
P = maksimum turbin output, kW
H = head efektif , m
Output turbin dihitung dengan formula:
P=9.81 xQxHx qt (2)
dimana
Q = debit air, m 3 ldetik
H = efektif head, m
ilt = efisiensi turbin
= 0.8 - 0.85 untuk turbin pelton
= 0.8 - 0.9 untuk turbin francis
= 0.7 - 0.8 untuk turbin crossfiow
= 0.8 - 0.9 untuk turbin propellerlkaplan
Kecepatan spesifik setiap turbin memiliki kisaran (range) tertentu berdasarkan data eksperimen. Kisaran kecepatan spesifik beberapa turbin air adalah sebagai berikut:
Turbin pelton
12≤Ns≤25
TurbinFrancis
60≤;Ns≤300
Turbin Crossflow
40≤Ns≤200
Turbin Propeller
250≤Ns≤ 1000
Dengan mengetahui kecepatan spesifik turbin maka perencanaan dan pemilihan jenis turbin akan menjadi lebih mudah. Beberapa formula yang dikembangkan dari data eksperimental berbagai jenis turbin dapat digunakan untuk melakukan estimasi perhitungan kecepatan spesifik turbin, yaitu :
Turbin pelton (1 jet)
Ns = 85.49/H0.243
(Siervo & Lugaresi, 1978)
Turbin Francis
Ns = 3763/H0.854
(Schweiger & Gregory, 1989)
Turbin Kaplan
Ns = 2283/H0.486
(Schweiger & Gregory, 1989)
Turbin Crossfiow
Ns = 513.25/H0.505
(Kpordze & Wamick, 1983)
Turbin Propeller
Ns = 2702/H0.5
(USBR, 1976)
Dengan mengetahui besaran kecepatan spesifik maka dimensi dasar turbin dapat diestimasi (diperkirakan).
Pada perencanaan PLTMH ini, pilihan turbin yang cocok untuk lokasi yang tersedia adalah :
Turbin propeller tipe open flume untuk head rendah s.d 6 m
Turbin crossflow 1 banki-mithell untuk head 6 m < H < 60 m.
Pemilihan jenis turbin tersebut berdasarkan ketersediaian teknologi secara lokal dan biaya pembuatan/pabrikasi yang lebih murah dibandingkan tipe lainnya seperti pelton dan francis. Jenis turbin crosstlow yang dipergunakan pada perencanaart ini adalah crossfiow T-14 dengan diameter runner 0.3 m. Turbin tipe ini memiliki efisiensi maksimum yang baik sebesar 0.74 dengan efisiensi pada debit 40% masih cukup tinggi di atas 0.6. Sementara untuk penggunaan turbin propeller open flume pabrikasi lokal ditetapkan efisiensi turbin sebesar 0.75.
Penggunaan kedua jenis turbin tersebut untuk pembangkit tenaga air skala mikro (PLTMH), khususnya crossfIlow T-14 telah terbukti handai di lapangan dibandingkan jenis crossfiow lainnya yang dikembangkan oleh berbagai pihak (lembaga penelitian, pabrikan, import).
Putaran turbin baik propeller open flume head rendah dan turbin crossflow memiliki kecepatan yang rendah. Pada sistem mekanik turbin digunakan transmisi sabuk flatbelt dan pulley untuk menaikkan putaran sehingga sama dengan putaran generator 1500 rpm. Efisiensi sistem transmisi mekanik flat belt diperhitungkan 0.98. Sementara pada sistem transmisi mekanik turbin propeller open flume menggunakan sabuk V, dengan efisiensi 0.95.

Diagram Aplikasi berbagai jenis Turbin
(Head Vs Debit)
Tabel Putaran Generator Sinkron (rpm)
Jumlah Pole (kutub)
Frekuensi , 50 Hz
2
3000
4
1500
6
1000
8
750
10
600
12
500
14
429
Tabel Run-away speed Turbin, N maks/N
Jenis Turbin
Putaran Nominal, N (rpm)
Runaway speed
Semi Kaplan, single regulated
75-100
2-2.4
Kaplan, double regulated
75-150
2.8-3.2
Small-medium Kaplan
250-700
2.8-3.2
Francis (medium & high head)
500-1500
1.8-2.2
Francis (low head)
250-500
1.8-2.2
Pelton
500-1500
1.8-2
Crossflow
100-1000
1.8-2
Turgo
600-1000
2

2. Pemilihan Generator dan Sistem Kontrol
Generator adalah suatu peralatan yang berfungsi mengubah energi mekanik menjadi energi listrik. Jenis generator yang digunakan pada perencanaan PLTMH ini adalah :
v Generator sinkron, sistem eksitasi tanpa sikat (brushless exitation) dengan penggunaan dua tumpuan bantalan (two bearing).
v Induction Motor sebagai Generator (IMAG) sumbu vertikal, pada perencanaan turbin propeller open flume

Spesifikasi generator adalah putaran 1500 rpm, 50 Hz, 3 phasa dengan keluaran tegangan 220 V/380 V. Efisiensi generator secara umum adalah
v Aplikasi < 10 KVA efisiensi 0.7 - 0.8
v Aplikasi 10 - 20 KVA efisiensi 0.8 - 0.85
v Aplikasi 20 - 50 KVA efisiensi 0.85
v Aplikasi 50 - 100 KVA efisiensi 0.85 - 0.9
v Aplikasi >. - 100 KVA efisiensi 0.9 - 0.95
Sistem kontrol yang digunakan pada perencanaan PLTMH ini menggunakan pengaturan beban sehingga jumlah output daya generator selalu sama dengan beban. Apabila terjadi penurunan beban di konsumen, maka beban tersebut akan dialihkan ke sistem pemanas udara (air heater) yang dikenal sebagai ballast load/dumy load.
Sistem pengaturan beban yang digunakan pada perencanaan ini adalah
v Electronic Load Controller (ELC) untuk penggunaan generator sinkron
v Induction Generator Controller (IGC) untuk penggunaan IMA
Sistem kontrol tersebut telah dapat dipabrikasi secara lokal, dan terbukti handal pada penggunaan di banyak PLTMH. Sistem kontrol ini terintegrasi pada panel kontrol (switch gear).
Fasillitas operasi panel kontrol minimum terdiri dari
v Kontrol start/stop, baik otomatis, semi otomatis, maupun manual
v Stop/berhenti secara otomatis
v Trip stop (berhenti pada keadaan gangguan: over-under voltage, over-under frekuensi.
v Emergency shut down, bila terjadi gangguan listrik (misal arus lebih)

konservasi energi

Pengembangan energi alternatif harus diikuti oleh pengembangan teknologi enginering dan semuanya harus selaras tanpa ada saling mendahului,
Hal ini penting karena pngembangan keduanya adalah saling berkaitan saling ketergantungan. Strategi ini perlu di kumandangkan keseluruh pelosok dunia, sehingga hasil pengembangan akan langsung bisa di produksi secara masal dan akan langsung di nikmti oleh masyarakat dunia yang telah lama menunggu energi alternatif dan sekali gus penggunaannya.
Energi Alternatif seperti penggunaan bahan bakar gas, tidak diimbangi dengan perangkat teknologi yang saling mendukung satu sama lain sehingga pengembangan energi tersbut menjadi terkendala karena faktor ketidaksiapan beberapa elemen, misalnya, infrastruktur untuk gas tidak merata, produksi kendaraan ataupun mesin mesin pengguna juga tidak maksimal, sehingga upaya pencarian temuan energi alternatif sepertinya sia sia dan kurang memberikan hasil yang signifikan.
Investasi untuk itu memang sangat mahal, namun masing masing negara harus punya kebijakan yang seragam mengenai konservasi energi ini dan sasarannya harus sama yaitu demi untuk penyelamatan bumi yang kita diami.

Bioetanol, energi pengganti minyak bumi, yang bisa di produksi

Diupload Oleh Administrator
Monday, 20 August 2007
Latar Belakang
Seiringdengan menipisnya cadangan energi BBM, jagung menjadi alternatif yang penting sebagai bahan baku pembuatan ethanol (bahan pencampur BBM). Karenanya, kebutuhan terhadap komoditas ini pada masa mendatang diperkirakan mengalami peningkatan yang signifikan.Bioetanol (C2H5OH) adalah cairan biokimia dari proses fermentasi gula dari sumber karbohidrat menggunakan bantuan mikroorganisme
Gasohol º campuran bioetanol kering/absolut terdena-turasi dan bensin pada kadar alkohol s/d sekitar 22 %-volume.
Istilah bioetanol identik dengan bahan bakar murni. BEX º gasohol berkadar bioetanol X %-volume.
Bahan Baku
Nira bergula (sukrosa): nira tebu, nira nipah, nira sorgum manis, nira kelapa, nira aren, nira siwalan, sari-buah mete
Bahan berpati: a.l. tepung-tepung sorgum biji (jagung cantel), sagu, singkong/gaplek, ubi jalar, ganyong, garut, umbi dahlia.
Bahan berselulosa (Þ lignoselulosa):kayu, jerami, batang pisang, bagas, dll. Sekarang belum ekonomis, teknologi proses yang efektif diperkirakan akan komersial pada dekade ini !
Pemanfaatan Bioetanol
Sebagai bahan bakar substitusi BBM pada motor berbahan bakar bensin; digunakan dalam bentuk neat 100% (B100) atau diblending dengan premium (EXX)
Gasohol s/d E10 bisa digunakan langsung pada mobil bensin biasa (tanpa mengharuskan mesin dimodifikasi).
Sumber Karbohidrat
Hasil Panen Ton/ha/th
Perolehan Alkohol
Liter/ton
Liter/ha/th
Singkong
25 (236)
180 (155)
4500 (3658)
Tetes
3,6
270
973
Sorgum Bici
6
333,4
2000
Ubi Jalar
62,5*
125
7812
Sagu
6,8$
608
4133
Tebu
75
67
5025
Nipah
27
93
2500
Sorgum Manis
80**
75
6000
*) Panen 2 ½ kali/th; $ sagu kering; ** panen 2 kali/th. Sumber: Villanueva (1981); kecuali sagu, dari Colmes dan Newcombe (1980); sorgum manis, dari Raveendram; dan Deptan (2006) untuk singkong; tetes dan sorgum biji (tulisan baru)
Teknologi Pengolahan Bioetanol
Teknologi produksi bioethanol berikut ini diasumsikan menggunakan jagung sebagai bahan baku, tetapi tidak menutup kemungkinan digunakannya biomassa yang lain, terutama molase.Secara umum, produksi bioethanol ini mencakup 3 (tiga) rangkaian proses, yaitu: Persiapan Bahan baku, Fermentasi, dan Pemurnian.
1. Persiapan Bahan Baku
Bahan baku untuk produksi biethanol bisa didapatkan dari berbagai tanaman, baik yang secara langsung menghasilkan gula sederhana semisal Tebu (sugarcane), gandum manis (sweet sorghum) atau yang menghasilkan tepung seperti jagung (corn), singkong (cassava) dan gandum (grain sorghum) disamping bahan lainnya.
Persiapan bahan baku beragam bergantung pada bahan bakunya, tetapi secara umum terbagi menjadi beberapa proses, yaitu:
Tebu dan Gandum manis harus digiling untuk mengektrak gula
Tepung dan material selulosa harus dihancurkan untuk memecahkan susunan tepungnya agar bisa berinteraksi dengan air secara baik
Pemasakan, Tepung dikonversi menjadi gula melalui proses pemecahan menjadi gula kompleks (liquefaction) dan sakarifikasi (Saccharification) dengan penambahan air, enzyme serta panas (enzim hidrolisis). Pemilihan jenis enzim sangat bergantung terhadap supplier untuk menentukan pengontrolan proses pemasakan.
Tahap Liquefaction memerlukan penanganan sebagai berikut:
Pencampuran dengan air secara merata hingga menjadi bubur
Pengaturan pH agar sesuai dengan kondisi kerja enzim
Penambahan enzim (alpha-amilase) dengan perbandingan yang tepat
Pemanasan bubur hingga kisaran 80 sd 90 C, dimana tepung-tepung yang bebas akan mengalami gelatinasi (mengental seperti Jelly) seiring dengan kenaikan suhu, sampai suhu optimum enzim bekerja memecahkan struktur tepung secara kimiawi menjadi gula komplek (dextrin). Proses Liquefaction selesai ditandai dengan parameter dimana bubur yang diproses menjadi lebih cair seperti sup.
Tahap sakarifikasi (pemecahan gula kompleks menjadi gula sederhana) melibatkan proses sebagai berikut:
Pendinginan bubur sampai suhu optimum enzim sakarifikasi bekerja
Pengaturan pH optimum enzim
Penambahan enzim (glukoamilase) secara tepat
Mempertahankan pH dan temperature pada rentang 50 sd 60 C sampai proses sakarifikasi selesai (dilakukan dengan pengetesan gula sederhana yang dihasilkan)
2. Fermentasi
Pada tahap ini, tepung telah sampai pada titik telah berubah menjadi gula sederhana (glukosa dan sebagian fruktosa) dimana proses selanjutnya melibatkan penambahan enzim yang diletakkan pada ragi (yeast) agar dapat bekerja pada suhu optimum. Proses fermentasi ini akan menghasilkan etanol dan CO2.
Bubur kemudian dialirkan kedalam tangki fermentasi dan didinginkan pada suhu optimum kisaran 27 sd 32 C, dan membutuhkan ketelitian agar tidak terkontaminasi oleh mikroba lainnya. Karena itu keseluruhan rangkaian proses dari liquefaction, sakarifikasi dan fermentasi haruslah dilakukan pada kondisi bebas kontaminan.
Selanjutnya ragi akan menghasilkan ethanol sampai kandungan etanol dalam tangki mencapai 8 sd 12 % (biasa disebut dengan cairan beer), dan selanjutnya ragi tersebut akan menjadi tidak aktif, karena kelebihan etanol akan berakibat racun bagi ragi.
Dan tahap selanjutnya yang dilakukan adalah destilasi, namun sebelum destilasi perlu dilakukan pemisahan padatan-cairan, untuk menghindari terjadinya clogging selama proses distilasi.
3. Pemurnian / Distilasi
Distilasi dilakukan untuk memisahkan etanol dari beer (sebagian besar adalah air dan etanol). Titik didih etanol murni adalah 78 C sedangkan air adalah 100 C (Kondisi standar). Dengan memanaskan larutan pada suhu rentang 78 - 100 C akan mengakibatkan sebagian besar etanol menguap, dan melalui unit kondensasi akan bisa dihasilkan etanol dengan konsentrasi 95 % volume.
Prosentase Penggunaan Energy
Prosentase perkiraan penggunaan energi panas/steam dan listrik diuraikan dalam tabel berikut ini:
Prosentase Penggunaan Energi
Identifikasi
Proses Steam
Listrik
Penerimaan bahan baku, penyimpanan, dan penggilingan
0 %
6.1 %
Pemasakan (liquefaction) dan Sakarifikasi
30.5 %
2.6 %
Produksi Enzim Amilase
0.7 %
20.4 %
Fermentasi
0.2 %
4 %
Distilasi
58.5 %
1.6 %
Etanol Dehidrasi (jika ada)
6.4 %
27.1 %
Penyimpanan Produk
0 %
0.7 %
Utilitas
2.7 %
27 %>
Bangunan
1 %>
0.5 %
TOTAL
100 %
100 %
Sumber: A Guide to Commercial-Scale Ethanol Production and Financing, Solar Energy Research Institute (SERI), 1617 Cole Boulevard, Golden, CO 80401
Peralatan Proses
Adapun rangkaian peralatan proses adalah sebagai berikut:
Peralatan penggilingan
Pemasak, termasuk support, pengaduk dan motor, steam line dan insulasi
External Heat Exchanger
Pemisah padatan - cairan (Solid Liquid Separators)
Tangki Penampung Bubur
Unit Fermentasi (Fermentor) dengan pengaduk serta motor
Unit Distilasi, termasuk pompa, heat exchanger dan alat kontrol
Boiler, termasuk system feed water dan softener
Tangki Penyimpan sisa, termasuk fitting


Diupload Oleh Administrator
Monday, 20 August 2007
Latar Belakang
Seiringdengan menipisnya cadangan energi BBM, jagung menjadi alternatif yang penting sebagai bahan baku pembuatan ethanol (bahan pencampur BBM). Karenanya, kebutuhan terhadap komoditas ini pada masa mendatang diperkirakan mengalami peningkatan yang signifikan.Bioetanol (C2H5OH) adalah cairan biokimia dari proses fermentasi gula dari sumber karbohidrat menggunakan bantuan mikroorganisme
Gasohol º campuran bioetanol kering/absolut terdena-turasi dan bensin pada kadar alkohol s/d sekitar 22 %-volume.
Istilah bioetanol identik dengan bahan bakar murni. BEX º gasohol berkadar bioetanol X %-volume.
Bahan Baku
Nira bergula (sukrosa): nira tebu, nira nipah, nira sorgum manis, nira kelapa, nira aren, nira siwalan, sari-buah mete
Bahan berpati: a.l. tepung-tepung sorgum biji (jagung cantel), sagu, singkong/gaplek, ubi jalar, ganyong, garut, umbi dahlia.
Bahan berselulosa (Þ lignoselulosa):kayu, jerami, batang pisang, bagas, dll. Sekarang belum ekonomis, teknologi proses yang efektif diperkirakan akan komersial pada dekade ini !
Pemanfaatan Bioetanol
Sebagai bahan bakar substitusi BBM pada motor berbahan bakar bensin; digunakan dalam bentuk neat 100% (B100) atau diblending dengan premium (EXX)
Gasohol s/d E10 bisa digunakan langsung pada mobil bensin biasa (tanpa mengharuskan mesin dimodifikasi).
Sumber Karbohidrat
Hasil Panen Ton/ha/th
Perolehan Alkohol
Liter/ton
Liter/ha/th
Singkong
25 (236)
180 (155)
4500 (3658)
Tetes
3,6
270
973
Sorgum Bici
6
333,4
2000
Ubi Jalar
62,5*
125
7812
Sagu
6,8$
608
4133
Tebu
75
67
5025
Nipah
27
93
2500
Sorgum Manis
80**
75
6000
*) Panen 2 ½ kali/th; $ sagu kering; ** panen 2 kali/th. Sumber: Villanueva (1981); kecuali sagu, dari Colmes dan Newcombe (1980); sorgum manis, dari Raveendram; dan Deptan (2006) untuk singkong; tetes dan sorgum biji (tulisan baru)
Teknologi Pengolahan Bioetanol
Teknologi produksi bioethanol berikut ini diasumsikan menggunakan jagung sebagai bahan baku, tetapi tidak menutup kemungkinan digunakannya biomassa yang lain, terutama molase.Secara umum, produksi bioethanol ini mencakup 3 (tiga) rangkaian proses, yaitu: Persiapan Bahan baku, Fermentasi, dan Pemurnian.
1. Persiapan Bahan Baku
Bahan baku untuk produksi biethanol bisa didapatkan dari berbagai tanaman, baik yang secara langsung menghasilkan gula sederhana semisal Tebu (sugarcane), gandum manis (sweet sorghum) atau yang menghasilkan tepung seperti jagung (corn), singkong (cassava) dan gandum (grain sorghum) disamping bahan lainnya.
Persiapan bahan baku beragam bergantung pada bahan bakunya, tetapi secara umum terbagi menjadi beberapa proses, yaitu:
Tebu dan Gandum manis harus digiling untuk mengektrak gula
Tepung dan material selulosa harus dihancurkan untuk memecahkan susunan tepungnya agar bisa berinteraksi dengan air secara baik
Pemasakan, Tepung dikonversi menjadi gula melalui proses pemecahan menjadi gula kompleks (liquefaction) dan sakarifikasi (Saccharification) dengan penambahan air, enzyme serta panas (enzim hidrolisis). Pemilihan jenis enzim sangat bergantung terhadap supplier untuk menentukan pengontrolan proses pemasakan.
Tahap Liquefaction memerlukan penanganan sebagai berikut:
Pencampuran dengan air secara merata hingga menjadi bubur
Pengaturan pH agar sesuai dengan kondisi kerja enzim
Penambahan enzim (alpha-amilase) dengan perbandingan yang tepat
Pemanasan bubur hingga kisaran 80 sd 90 C, dimana tepung-tepung yang bebas akan mengalami gelatinasi (mengental seperti Jelly) seiring dengan kenaikan suhu, sampai suhu optimum enzim bekerja memecahkan struktur tepung secara kimiawi menjadi gula komplek (dextrin). Proses Liquefaction selesai ditandai dengan parameter dimana bubur yang diproses menjadi lebih cair seperti sup.
Tahap sakarifikasi (pemecahan gula kompleks menjadi gula sederhana) melibatkan proses sebagai berikut:
Pendinginan bubur sampai suhu optimum enzim sakarifikasi bekerja
Pengaturan pH optimum enzim
Penambahan enzim (glukoamilase) secara tepat
Mempertahankan pH dan temperature pada rentang 50 sd 60 C sampai proses sakarifikasi selesai (dilakukan dengan pengetesan gula sederhana yang dihasilkan)
2. Fermentasi
Pada tahap ini, tepung telah sampai pada titik telah berubah menjadi gula sederhana (glukosa dan sebagian fruktosa) dimana proses selanjutnya melibatkan penambahan enzim yang diletakkan pada ragi (yeast) agar dapat bekerja pada suhu optimum. Proses fermentasi ini akan menghasilkan etanol dan CO2.
Bubur kemudian dialirkan kedalam tangki fermentasi dan didinginkan pada suhu optimum kisaran 27 sd 32 C, dan membutuhkan ketelitian agar tidak terkontaminasi oleh mikroba lainnya. Karena itu keseluruhan rangkaian proses dari liquefaction, sakarifikasi dan fermentasi haruslah dilakukan pada kondisi bebas kontaminan.
Selanjutnya ragi akan menghasilkan ethanol sampai kandungan etanol dalam tangki mencapai 8 sd 12 % (biasa disebut dengan cairan beer), dan selanjutnya ragi tersebut akan menjadi tidak aktif, karena kelebihan etanol akan berakibat racun bagi ragi.
Dan tahap selanjutnya yang dilakukan adalah destilasi, namun sebelum destilasi perlu dilakukan pemisahan padatan-cairan, untuk menghindari terjadinya clogging selama proses distilasi.
3. Pemurnian / Distilasi
Distilasi dilakukan untuk memisahkan etanol dari beer (sebagian besar adalah air dan etanol). Titik didih etanol murni adalah 78 C sedangkan air adalah 100 C (Kondisi standar). Dengan memanaskan larutan pada suhu rentang 78 - 100 C akan mengakibatkan sebagian besar etanol menguap, dan melalui unit kondensasi akan bisa dihasilkan etanol dengan konsentrasi 95 % volume.
Prosentase Penggunaan Energy
Prosentase perkiraan penggunaan energi panas/steam dan listrik diuraikan dalam tabel berikut ini:
Prosentase Penggunaan Energi
Identifikasi
Proses Steam
Listrik
Penerimaan bahan baku, penyimpanan, dan penggilingan
0 %
6.1 %
Pemasakan (liquefaction) dan Sakarifikasi
30.5 %
2.6 %
Produksi Enzim Amilase
0.7 %
20.4 %
Fermentasi
0.2 %
4 %
Distilasi
58.5 %
1.6 %
Etanol Dehidrasi (jika ada)
6.4 %
27.1 %
Penyimpanan Produk
0 %
0.7 %
Utilitas
2.7 %
27 %>
Bangunan
1 %>
0.5 %
TOTAL
100 %
100 %
Sumber: A Guide to Commercial-Scale Ethanol Production and Financing, Solar Energy Research Institute (SERI), 1617 Cole Boulevard, Golden, CO 80401
Peralatan Proses
Adapun rangkaian peralatan proses adalah sebagai berikut:
Peralatan penggilingan
Pemasak, termasuk support, pengaduk dan motor, steam line dan insulasi
External Heat Exchanger
Pemisah padatan - cairan (Solid Liquid Separators)
Tangki Penampung Bubur
Unit Fermentasi (Fermentor) dengan pengaduk serta motor
Unit Distilasi, termasuk pompa, heat exchanger dan alat kontrol
Boiler, termasuk system feed water dan softener
Tangki Penyimpan sisa, termasuk fitting

koservasi energi

50% listrik global harus berasal dari energi terbarukan



Diupload Oleh Tony Susandy
Monday, 11 May 2009
Sekitar 50% dari pasokan listrik global harus berasal dari sumber-sumber energi terbarukan dalam rangka mengurangi emisi CO2 menjadi separuhnya di tahun 2050. Demikian menurut the International Energy Agency (IEA) dalam studinya, Deploying Renewables: Principles for Effective Policies.
Dalam memenuhi tujuan yang sangat ambisius untuk ‘mengurangi laju perubahan iklim yang signifikan dan irreversible’ diperlukan komitmen politik baru disertai dengan desain dan implementasi kebijakan yang efektif, kata IEA lebih lanjut. IEA juga mendesak berbagai negara untuk mengadopsi kebijakan-kebijakan efektif berdasarkan pada lima prinsip desain utama untuk mempercepat eksploitasi ‘potensi energi terbarukan yang besar’.
Namun demikian, IEA juga memahami sulitnya melakukan hal tersebut, dengan mengatakan, ‘ini merupakan tantangan yang sangat besar dan merupakan bagian dari seluruh revolusi energi yang perlu kita capai’.
Turut mengomentari pada peluncuran studi ini, Nobuo Tanaka, direktur eksekutif IEA, mengatakan, “Berbagai negara telah melakukan kemajuan penting dalam beberapa tahun terakhir dalam mempromosikan pertumbuhan energi terbarukan, hal ini ditunjukkan dengan berkembangnya pasar energi terbarukan. Akan tetapi, masih lebih banyak yang dapat dan harus dilakukan pada level global”.
Laporan ini mengatakan bahwa masih terdapat kendala-kendala signifikan yang menghalangi ekspansi secara cepat dan meningkatkan biaya yang diperlukan untuk mempercepat transisi energi terbarukan menjadi arus utama. Jika kendala-kendala ini diatasi, maka energi terbarukan akan dapat dieksploitasi dengan jauh lebih cepat dan jauh lebih luas.
Laporan ini mengatakan bahwa desain kebijakan harus merefleksikan:
Penghilangan kendala-kendala non-ekonomi, seperti administrasi dan akses jaringan (grid)
Kerangka kerja pendukung yang dapat diprediksi dan transparan
Pengenalan insentif transisi, yang terus berkurang seiring berjalannya waktu, untuk mendorong inovasi
Pengembangan dan implementasi insentif yang tepat berdasarkan pada derajat kematangan
Pertimbangan dari dampak penetrasi teknologi energi terbarukan secara luas pada keseluruhan sistem energi, terutama dalam pasar energi liberal.
Pada saat peluncuran the IEA’s World Energy Outlook 2008, IEA juga mengatakan bahwa energi terbarukan akan mengambil alih peran gas alam menjadi sumber pembangkitan listrik yang terbesar kedua ‘pasca 2010’ di bawah batu bara dalam pembangkitan listrik global secara keseluruhan sebelum 2015.

IEA mengatakan bahwa pada periode hingga 2015, kebanyakan dari penambahan kapasitas pembangkitan dari energi terbarukan berasal dari pembangkit listrik tenaga air dan angin. Di seluruh 30 negara yang tergabung dalam OECD, peningkatan tersebut pada 2006-2015 (termasuk air) diproyeksikan akan menyamai gabungan peningkatan yang berasal dari sumber-sumber fosil dan nuklir.

Biaya pembangkitan listrik dari energi terbarukan juga diperkirakan akan turun seiring bertambahnya waktu dikarenakan meningkatnya penggunaan energi terbarukan. Ini akan menjadi nyata terutama pada teknologi seperti photovoltaic dan tenaga surya terkonsentrasi, demikian analisis IEA.
Sumber: The International Energy Agency
Terakhir diperbaharui ( Monday, 11 May 2009 )

Kamis, 09 Juli 2009

Terumbu Karang Akan Punah Pada Akhir Abad Ini

Beijing (ANTARA News/Xinhuanet-OANA) - Banyak ahli margasatwa memperingatkan terumbu karang di dunia mungkin akan punah paling lambat pada akhir abad ini jika jumlah karbon dioksida (CO2) di atmosfir tidak dikurangi.Dalam pertemuan di London, Senin, para ahli terkemuka margasatwa menyatakan bahwa langkah buangan gas yang diramalkan berarti tingkat 450 bagian per juta CO2 di atmosfir akan dicapai paling lambat pada 2050.Buangan itu akan mengarah kepada peningkatan keasaman kondisi samudra dan pemanasan temperatur air, yang akan mematikan terumbu karang dalam beberapa dasawarsa selanjutnya."Dapur mulai terbakar dan api itu kian menyebar ke seluruh bangunan," kata Alex Rogers dari Zoological Society of London dan International Program on the State of the Ocean."Jika kita bertindak cepat dan secara meyakinkan kita mungkin akan dapat memadamkannya sebelum kerusakan jadi tak dapat diubah," katanya.Terumbu karang adalah tempat berteduh dan perawatan penting bagi ikan dan makhluk hidup lain di dalam laut.Terumbu karang juga melindungi garis pantai, menyediakan sumber penting makanan bagi jutaan orang, menarik wisatawan dan menjadi tempat penyimpanan obat yang potensial bagi penyakit kanker dan penyakit lain.Yang terbesar adalah Great Barrier Reef, kumpulan 2.900 terumbu karang di sepanjang 2.100 kilometer pantai timur-laut Australia di taman laut dengan ukuran seluas negara Jerman.(*)

Kamis, 02 Juli 2009

Kawasan Puncak Muria

Kawasan puncak muria menjadi menarik karena merupaan sumber mata air terpenting di kawasan karesidenan Pati,
Namun seiring dengan waktu, kawasan tersebut menjadi memprihatinkan karena hutan di sekitar puncak menjadi terus berkurang, beberapa hal yang mengakibatkan berkurang nya kawasan hutan adalah karena pengolahan tanah oleh warga dengan di tanami tanaman selain tanaman kayu kayuan, dan sistem pengolahan lahan bersih yang mengkibatkan top soil menjadi semakin tipis.
Debit air terjun semakin tahun juga semakin berkurang, dan ini adalah suatu tanda berkurangnya kemampuan kawasan tersebut menjimpan air di waktu musim hujan.
Beberapa hal yang mesti dilakukan oleh warga dan pemda setempat adalah menghutankan kembali kawasan tersebut dan di jadikan kawasan larangan penanaman tanaman semusim di kawasan tersebut sampai daerah Gunung Patiayam.
Gerakan penghutanan kembali pada kawasan tersebut bisa digerakkan melalui program reboisasi yang bekerja sama dengan perguruan tinggi setempat, pengusaha di kawasan kudus dan sekitarnya serta kepedulian pemda beserta warga menyelamatkan lingkungan puncak.
Lembaga swadaya masyarakat melalui Lapboratorium Alam sepertinya belum menunjukan hasil yang signikan bagi pemulihan kawasan puncak Muria. dan masih perlu lagi membuat gebrakan melalui kerja keras seluruh komponen warga kudus.
Canangkan tiap tahun tanam sejuta pohon di kawasan tersebut, dengan berbagai jenis pohon kayu agar kawasan tersebut benar benar tumbuh tanaman dengan berbagai jenis tanaman kayu yang ada di seluruh indonesia,
Dengan demikian maka kawasan tersebut akan layak mendapat sebutan sebagai Laboratorium Alam kelas dunia, dimana kawasan tersebut telah ada berbagai tanaman hutan dengan jenis dari bebagai pelosok nusantara,

Dampak Pembalakan yang Minimal

Praktek pembalakan secara konvensional biasanya menyebabkan kerusakan besar pada ekosistem hutan. Penggunaan alat-alat berat berakibat pada proses pemadatan tanah dan rusaknya vegetasi sementara pemanenan besar-besaran akan menyebabkan erosi, berkurangnya keanekaragaman jenis dan kapasitas perkembang-biakan. Sedangkan kelebihan sampah organik yang dihasilkan mengakibatkan hutan semakin rentan terhadap bahaya kebakaran.
Sejak awal, penilaian dampak lingkungan reduced-impact logging (RIL) atau pembalakan berdampak minimal ini merupakan prioritas penelitian CIFOR. Sebagai bagian dari program keseluruhan Sustainable Forest Management (SFM) atau Pengelolaan Hutan Lestari, maka CIFOR mengadakan jalinan kerjasama kajian RIL dengan Malaysia, Brazil, Indonesia, Kamerun, Bolivia, Tanzania dan Zambia. Hasil penelitian diharapkan dapat membantu dalam mengembangan pedoman dan alat (perangkat lunak) untuk pengelolaan produksi kayu dengan dampak ekologi seminimal mungkin. Oleh karena penerapan metoda RIL ini memerlukan dukungan penuh baik dari pihak pemerintah maupun swasta, maka CIFOR mengadakan kerjasama dengan kedua pihak tersebut dalam melakukan kegiatan ini.
Hasil penelitian CIFOR maupun lainnya menunjukkan bahwa kerusakan dapat dikurangi dengan menerapkan teknik pemanenan yang "site-sensitive" (sesuai kondisi lokasi). Diantara temuan tersebut menunjukkan bahwa metoda RIL berhasil mengurangi dampak terhadap kerusakan tanah sebanyak 25%, dan selanjutnya diperoleh sekitar 50% simpanan dalam bentuk "gudang karbon" yang dihasilkan dari tegakan sisa. Dari beberapa percobaan menggunakan RIL di hutan tropika dataran rendah, terlihat bahwa besarnya kerusakan pada tanah serta permudaan tingkat lanjut berkurang kira-kira 50% dibandingkan dengan pembalakan konvensional.
Temuan yang sangat mendukung ini mendorong Lembaga International Kayu Tropis atau International Tropical Timber Organization (ITTO) untuk mulai menerapkan RIL secara menyeluruh pada tahun 2000. Baru-baru ini Food and Agriculture Organization (FAO) dari United Nations (UN) mempublikasikan Model Praktek Pengelolaan Hutan atau Model Code of Forest Harvesting Practices, dan disusul oleh lembaga lainnya yang juga menerbitkan pedoman yang sama. Pedoman seperti ini biasanya hanya memuat dasar-dasar umum tentang praktek RIL sehingga pengguna harus menterjemahkannya sesuai dengan kondisi lokasi yang bersangkutan (site-specific).
Kajian RIL ini merupakan fokus utama penelitian yang dilakukan di Wanariset Bulungan, Kalimantan Timur, Indonesia. Tujuan utama dari kegiatan tersebut yaitu untuk membantu pengembangan insentif kebijakan dalam mempromosikan penerapan RIL oleh para pengusaha kayu.
Di banyak negara industri, teknik RIL sudah digunakan dalam kegiatan pemanenan kayu selama beberapa dasawarsa ini. Meskipun demikian, praktek ini belum banyak diterapkan di hutan tropika. Dalam makalahnya yang berjudul "Mengapa negara tropis masih menerapkan praktek pembalakan yang kurang baik?" ("Why Poor Logging Practices Persist in the Tropic?"), Dr. Jack Putz dan Dennis Dykstra dari CIFOR menyoroti beberapa alasan umum yang diberikan oleh para penebang komersial jika ditanyakan tentang penyebab tidak diterapkannya praktek pemanenan yang telah diperbaiki tersebut. Di dalam tulisan ini, penulis berupaya untuk menangkal persepsi yang dilontarkan itu dan berusaha memaparkan bukti-bukti manfaat penerapan RIL.
Sisi ekonomi penerapan RIL juga menjadi sorotan utama penelitian CIFOR yang berlangsung sejak tahun 1996 di dua lokasi di Brazil: Tapajos National Forest, dekat Dantarem, dan Curua Una, sebuah hutan percobaan di hulu sungai Santarem. Dalam sebuah kegiatan penelitiannya yang baru di Brazil, ilmuwan CIFOR yang berada di Belem bekerjasama dengan EMBRAPA menyelenggarakan sebuah workshop yang diadakan pada bulan Desember untuk mendiskusikan pedoman percobaan lapangan RIL di kawasan hutan produksi di bagian timur Amazon. Kegiatan ini merupakan bagian dari proyek kerjasama dalam rangka mengembangkan rencana pengelolaan yang berkelanjutan di kawasan tersebut.
Sementara itu, di Tanzania dan Zambia, CIFOR ikut berperan serta dalam dua buah koordinasi kegiatan penelitian lapangan RIL untuk program jangka panjang yang dibiayai oleh European Union (EU), dengan tujuan untuk mencapai pengelolaan Hutan-Kayu Miombo secara lestari di kawasan timur, tengah dan selatan Africa. Hutan kayu ini secara ekologis sangat penting dan saat ini kondisi keberadaannya terancam.

Hutan Sekunder

Hutan sekunder yang muncul setelah dibukanya hutan alam untuk kegiatan peternakan dan pertanian merupakan fokus utama kegiatan penelitian CIFOR. Hal ini disebabkan oleh adanya bukti-bukti yang menyatakan bahwa hutan tersebut mampu mengantisipasi hilangnya hutan primer. Studi menunjukan bahwa hutan sekunder dapat dikelola untuk menyediakan berbagai produk yang biasanya didapat para petani kecil secara tradisionil dari hutan primer, disamping memberikan manfaat lingkungan seperti halnya hutan primer. Hasil temuan ini mendorong peneliti untuk melakukan intervensi teknologi dan kebijakan dalam rangka menambah nilai hutan sekunder bagi para petani, dengan demikian mereka tergugah untuk tetap mempertahankan luasan kawasan hutan sekunder dan memperlambat proses perubahan kembali (re-conversion) lahan untuk penggunaan lainnya.
Sebagian besar penelitian di bidang ini dikerjakan di beberapa negara di Amerika Selatan, dibawah pengarahan Dr. Joyotee Smith dan Cesar Sabogal. Luasan hutan sekunder di Amerika Latin ini mencakup sekitar 165 juta hektar. Kegiatan ini dibiayai oleh Inter American Development Bank dan Spanish Agency for International Cooperation dan termasuk sebagian besar keterlibatan Tropical Agricultural Center for Research and Higher Education (CATIE).
Pada tahun 1998, salah satu hasil kegiatan program di Amazonian Peru ini melaporkan tentang temuannya yang sangat kontras dengan skenario deforestasi di negara tropis yang umumnya berkesan suram. Hasil studi menunjukan bahwa keberadaan sejumlah besar hutan sekunder di daerah ini sudah ada bahkan sejak beberapa dasawarsa setelah dimulainya pemukiman penduduk. Implikasi ini sangat penting karena diperkirakan bahwa deforestasi yang berkaitan dengan praktek pertanian yang menganut pola tebang bakar (slash and burn) mungkin jauh lebih kecil dibanding dengan apa yang diyakini orang pada umumnya.
Para peneliti menemukan bahwa permudaan hutan sekunder pada lahan yang dibuka sebelumnya merupakan upaya untuk mengurangi pengaruh hilangnya hutan primer yang tersisa. Dengan berkembangnya hutan sekunder ini, maka lebih dari 1/3 lahan pertanian di kawasan studi tetap ditutupi oleh hutan setelah 3 atau 4 dasawarsa berkembangnya daerah perbatasan.
Kegiatan penelitian ini serta penelitian terkait lainnya di Brasil dan Nikaragua merupakan bagian dari upaya lebih luas untuk memahami dinamika hutan sekunder, yaitu bagaimana perubahan peran hutan sekunder seiring dengan berkembangnya daerah perbatasan pemukiman penduduk. Lokasi studi di tiga negara tersebut dipilih untuk mewakili beberapa tahapan perkembangan daerah perbatasan yang berbeda, dimana penelitian tentang sosial ekonomi dan biofisiknya saat ini masih berjalan. Salah satu tujuan penelitian ini adalah untuk mengembangkan model bio-ekonomi untuk menganalisa sampai sejauh mana perubahan yang terjadi di berbagai faktor dapat mempengaruhi kemampuan perolehan keuntungan para petani kecil pengelola hutan dan berbagai pengambilan keputusan yang berkaitan dengan penggunaan lahan.
Gagasan lain dalam program penelitian ini termasuk kajian untuk mengevaluasi penggunaan intervensi silvikultur dalam rangka meningkatkan produktifitas jenis-jenis kayu di hutan sekunder yang masih muda. Menyusul pilot studi di Costa Rica, percobaan yang sama juga dilakukan di Peru dan Nikaragua. CIFOR juga berupaya untuk mengkompilasikan sebuah buku yang dapat memberikan gambaran perbandingan antara logged over forest (hutan bekas tebangan) dengan second-growth forest (tegakan hutan sekunder) di tiga buah kawasan dunia serta kajian berbagai aspek yang berkaitan dengan pengelolaannya secara lestari.

Deforestasi Hutan

Banyak penyebab deforestasi secara fisik berhasil ditemukan dan dijadikan fokus bagi banyak penelitian yang bertujuan meminimasi kerusakan ekologis. Tetapi tidak semua penyebab degradasi dan hilangnya hutan dinyatakan secara langsung dan jelas; proses sosial serta kebijakan ekonomi juga mempunyai peranan penting. Upaya menyelesaikan berbagai faktor penyebab dan kaitan hubungan berbagai proses tersebut serta bagaimana pengaruhnya terhadap kondisi hutan dan penduduknya merupakan tantangan bagi para peneliti.
Kajian yang dilakukan CIFOR memberikan gambaran penting terhadap dampak pengaruh ekstra-sektoral seperti kebijakan ekonomi (khususnya program penyesuaian struktural) dan kemajuan teknologi di bidang pertanian dan sistem desentralisasi. Kebanyakan dari kegiatan ini terpusat di sekitar studi perbandingan perubahan makro ekonomi yang terjadi di Bolivia, Kamerun dan Indonesia. Penelitian serupa lainnya juga dilakukan di Afrika bagian Timur dan Selatan dan di Amerika Tengah.
Penulis juga mengulas metodologi serta hasil lebih dari 140 penelitian ekonomi deforestasi hutan. Mereka menyatakan bahwa banyak hasil temuan yang sebaiknya dipandang secara skeptis disebabkan buruknya kualitas data serta lemahnya rancangan studi. Akhir-akhir ini model ekonomi kuantitatif deforestasi menjadi sangat populer. Meskipun beberapa kajian di bidang ini menawarkan suatu gagasan pemikiran yang bermanfaat, dilain pihak penulis bahkan kurang sependapat karena pada umumnya pendekatan yang digunakan seperti model regresi nasional dan multi-negara manfaatnya terbatas. Mereka merekomendasikan suatu perubahan kearah kajian pada tingkat daerah dan penduduk/keluarga, yang mampu untuk lebih jauh menerangkan faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan yang diambil oleh pihak yang terkait langsung dalam pembukaan dan pemanfaatan hutan.
Kegiatan lainnya yang berupaya untuk merombak atau melawan arus melalui proram penelitian ini adalah menangkal pandangan umum tentang intensifikasi pertanian serta dampaknya terhadap hutan. Paradigma konvensional yang ada saat ini adalah meningkatnya produktifitas pertanian yang disebabkan oleh kemajuan teknologi akan mengurangi tekanan terhadap sumberdaya hutan sehingga mendukung upaya-upaya konservasinya. Tetapi peneliti CIFOR dalam hal ini banyak menemukan berbagai contoh dimana temuan baru di sektor pertanian bahkan menciptakan kesempatan baru bagi petani untuk membuka lahan lebih cepat dibandingkan dengan apa yang dilakukan sebelumnya. Hasil penelitian ini memberikan kesan bahwa penerapan teknologi padat modal (capital-intensive) yang cocok dengan kondisi kawasan lahan pertanian serta kegiatan produksi untuk keperluan ekspor cenderung akan meningkatkan konversi lahan hutan.
Karena program penyesuaian struktural mempunyai dampak yang besar terhadap hutan dan penduduk didalamnya maka CIFOR berusaha untuk menyelidiki pengaruh dari program-program tersebut serta membuat analisa kelayakan dari strategi alternatif yang ditawarkan. Hanya beberapa tahun yang lalu, penduduk miskin dan praktek perladangan/pertanian berpindah dipandang sebagai penyebab utama yang mendorong proses deforestasi. Tetapi bukti-bukti yang ada saat ini menyatakan bahwa faktor-faktor komersial dan perubahan makro ekonomi dapat memberikan pengaruh yang lebih besar.
Studi perbandingan yang dilakukan di Indonesia, Kamerun dan Bolivia menunjukkan bagaimana krisis ekonomi nasional serta kebijakan makroekonomi pemerintahan dapat mempengaruhi pola matapencaharian penduduk dan pemanfaatan hutan setempat. Dengan jalan mengkombinasikan metoda ilmu sosial dan data penginderaan jarak jauh di berbagai kasus, para peneliti mendapatkan jawaban atas beberapa pertanyaan utama seperti, apa yang mempengaruhi keputusan untuk bertani pada tingkat keluarga dan bagaimana hubungannya dengan pembukaan hutan.
Pada tahun 1998, Dr. David Kaimowitz dan Arilds Angelsen menerbitkan Economic Models of Tropical Deforstation: A Review, yang banyak menarik perhatian diantara para peneliti dan para pengambil kebijakan karena kesimpulannya yang dianggap provokatif. Disarikan dalam sebuah jurnal utama World Bank, tulisan ini meragukan banyak hipotesa konvensional tentang penyebab deforestasi.
Pada tahun 1998, para peneliti melakukan analisa terhadap hasil survey yang dilakukan di Kamerun untuk menentukan sejauh mana perubahan harga pasar dan devaluasi mata uang yang terjadi secara besar-besaran setelah adanya krisis ekonomi pada tahun 1980-an dapat mempengaruhi jenis-jenis tanaman yang ditanam oleh penduduk serta jumlah lahan yang dimanfaatkan. Salah satu temuan penting menyatakan bahwa pada saat harga pasar dunia jatuh, petani berskala kecil beralih kegiatan dari produksi ekspor misalnya coklat ke pertanian menetap, dan hal ini dilakukan dengan jalan membuka lebih banyak lahan hutan daripada memanfaatkan lahan yang sebelumnya sudah dibuka untuk pertanian. (Mereka tetap membiarkan lahan garapan tanaman ekspornya dengan harapan suatu saat harganya akan kembali tinggi). Proyek yang dikerjakan bekerjasama dengan Department of Overseas Development, United Kingdom ini juga menyelidiki berbagai aspek pengaruh kebijakan makro-ekonomi serta pengaruh berlakunya peraturan kehutanan yang baru di Kamerun.
Kecenderungan pola desentralisasi yang berlaku di beberapa negara tropis merupakan faktor ekstra-sektoral lainnya yang mempengaruhi bagaimana dan oleh siapa sumber-sumberdaya hutan dikelola. CIFOR beserta mitranya termasuk Center for Research on Labor and Agrarian Development (CEDLA) dan Bolivian Sustainable Forest Management Project (BOLFOR) melangsungkan kegiatan penelitian dalam rangka menentukan apakah desentralisasi pada akhirnya akan menguntungkan hutan dengan jalan merubah kembali sejarah sistem pengawasan yang dilakukan oleh penguasa yang cenderung meningkatkan pembukaan hutan dan degradasi lahan di dataran rendah Bolivia.
Temuan tahap awal menunjukkan bahwa sistim desentralisasi di Bolivia membawa manfaat bagi banyak penduduk miskin pedesaan di kawasan yang masih berhutan, termasuk meningkatnya akses terhadap sumberdaya hutan, terbatasnya perambahan hutan oleh perusahaan kayu besar dan peternak, serta banyaknya suara yang dapat ditampung dalam pembuatan keputusan. Meskipun demikian, ada beberapa hambatan utama yang dapat mengurangi nilai pemanfaatan serta pengelolaannya secara lestari, termasuk lemahnya kemampuan teknis lokal, terbatasnya dukungan nasional serta masalah-masalah ke-organisasian yang muncul diantara penebang kayu skala-kecil.